Ia dipanggil Bro.
Entah apa alasannya, bisa jadi itu dari kata "bro" yang keluar dari mulutnya saat melayani pembeli. Tiap pagi, ia dan beberapa rekannya telah menggelar dagangan di sebuah tanah lapang kosong yang ada di pinggir jalan Mergan Lori Kota Malang.
Ibu-ibu dari segala penjuru Mergan Raya pun menyemut di tempat itu. Layaknya pasar tumpah yang ada di beberapa kota, pasar dadakan ini juga membuat kemacetan di tempat itu. Terlebih, saat pagi hari ketika anak-anak sekolah berangkat dan para pekerja kantoran hilir mudik dari arah pinggiran kota ini.
Lengkap, murah, dan lebih simpel. Itu mungkin yang menjadikan pasar dadakan ini begitu ramai pembeli. Keberadaanya bahkan disadari atau tidak telah menggeser dua pasar tradisional di dekatnya -- Pasar Mergan dan Pasar Sukun. Dua pasar yang sedang direnovasi ini pun seakan kehilangan pembelinya. Walau tentu, masih ada pembeli yang loyal di kedua pasar tersebut.
Harga yang lebih bersaing menjadi pemicu utama. Cabai merah, cabai rawit, tomat, berbagai sayuran dan buah, serta aneka daging dan ikan dijual dengan harga sama atau bahkan lebih murah dibandingkan di kedua pasar tradisional yang direnovasi.
Bro memang cerdas. Ia telah membungkus segala macam dagangannya sehingga memudahkan pembeli untuk mendapatkan barang dagangannya dengan cepat. Para pembeli mengambil sendiri dagangannya dan jika telah rampung, mereka tinggal membayar saja di kasir. Semua barang yang dijual sudah memiliki harga pas layaknya di pasar modern.
Bro pun meletakkan beberapa timbangan di sekitar barang-barang yang dijual untuk memastikan bahwa berat barang dagangannya sudah dalam kondisi pas. Para pembeli bisa mengeceknya melalui timbangan ini.
Jadi, gerak-gerak pembeli yang mengambil barang dagangannya bisa dipantau melalui CCTV tersebut.
Segala kemudahan yang diberikan ini semakin memanjakan para pembeli. Ibu saya dan para tetangga berdalih belanja di tempat ini lebih menghemat waktu. Mereka tinggal berjalan kaki dan sudah mendapatkan banyak barang dapur lebih murah. Mereka tak perlu parkir sepeda motor ataupun menawar harga yang kadang cukup menyita waktu.
Mereka juga kerap berdiskusi seputar kegiatan kampung dan kehidupan mereka di sela-sela berbelanja. Makanya, semangat untuk berbelanja di pasar dadakan ini jauh lebih tinggi.
Dengan makin ramainya pembeli di pasar dadakan ini, secara otomatis keberadaannya mendatangkan penjual lain yang ikut berjualan di sana. Tak sekadar bahan dapur, aneka macam kue basah, nasi bungkus, hingga peralatan rumah tangga pun dijual oleh para pedagang tersebut.
Lama-kelamaan, pasar ini pun semakin sesak.
Yang jelas, lama-lama, pedang yang ada semakin banyak dan makin banyak pembeli yang berdatangan.
Meski demikian, ada beberapa pedagang yang menggelar barang dagangannya seadanya. Seperti pedagang jenang yang menjual barang dagangannya tak terlalu banyak dan (maaf) bagi saya kurang menarik. Tak ada satupun pembeli yang menengoknya barang sebentar.
Ada pemula seorang bapak tua yang menjajakan nasi pecel dengan jumlah yang tak terlalu banyak. Ia duduk manis sambil berharap ada satu saja pembeli yang mau menengok dagangannya.
Kadang dalam hati saya merasa miris tapi ya bagaimana lagi. Para pembeli yang datang ke tempat tersebut juga memperhitungkan barang apa saja yang mereka beli. Atau, bisa juga melihat dagangan mereka yang kurang "menjual", para pembeli pun segan.
Inilah salah satu kelemahan pasar dadakan seperti ini. Tidak adanya regulasi dari pemangku kebijakan yang mengawasi membuat siapa saja bisa berdagang. Tidak ada standar bagaimana mereka menempati lapak dagangan mereka dan tentu saja tidak ada retribusi yang dibebankan pada mereka. Sebuah simalakama.
Keberadaan pasar semacam ini tak hanya terjadi di sekitar tempat tinggal saya. Hampir di setiap pabrik rokok yang ada di Kota Malang, sudah dipastikan ada pasar dadakan semacam ini.
Target pembelinya jelas para pekerja pabrik -- ibu-ibu pelinting rokok -- yang tak memiliki banyak waktu selain di sekitar pabrik mereka.
Maka, saat jam pulang pabrik, area di sekitar pabrik itu pun penuh dengan para pedagang sayur dan buah serta aneka perabotan rumah tangga. Para pekerja ini bisa jadi tak lagi pergi ke pasar tradisional yang telah dibangun oleh pemda setempat.
Atau bisa jadi lebih bersih karena si bro selalu memastikan tak ada satupun sampah yang ia tinggalkan di bekas tempatnya berdagang. Tak seperti di pasar tradisional yang semakin lama semakin banyak sampah yang menumpuk.
Kalau Anda sendiri, suka berbelanja di mana?