"Jadi, tubuh korbannya dipotong menjadi beberapa bagian terus kakinya ditato nama pembunuhnya. Di toilet sama tangganya ada semacam pesan berantai yang aneh dan bikin merinding. Pembunuhnya juga kasih kode pakai meneken bekas yang dipasang di dekat tangga".
Percakapan tersebut saya kutip dari WAG keluarga yang mendeskripsikan betapa mengerikannya kasus mutilasi yang terjadi di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang. Pasar Besar Malang (PBM) adalah tempat itu. Di sini, saya tidak akan membahas lebih lanjut kasus pembunuhan yang hingga kini belum diketahui siapa korban yang termutilasi.
Meski demikian, dengan adanya kasus pembunuhan disertai mutilasi ini, tempat kejadian perkara, Pasar Besar Malang memberikan sebuah gambaran yang selama ini memang benar adanya. Pasar ini adalah kontradiksi dari sebuah pusat ekonomi di sebuah kota besar. Ia ramai dengan pengunjung yang menyesakinya namun menyisakan kisah kelam sendiri.
Kunjungan saya ke PBM selalu atas inisiaitif ibu saya. Menemani beliau berbelanja ketika saya pulang ke Malang, lorong demi lorong PBM seakan sudah tergambar jelas meski saya berada di perantauan. Pasar ini memang strategis. Letaknya berada tak jauh dari Alun-alun Malang dan Stasiun Malang. Tepat di jantung pemukiman empat suku terbesar yang mendiami kota ini, Jawa, Madura, Tionghoa, dan Arab.Â
Kalau dikategorikan sebagai pasar tradisional atau modern, saya rasa PBM adalah hasil perpaduan dari keduanya. Pasar ini bisa disebut pasar tradisional dari banyaknya pedagang sayur, buah, daging, dan ayam yang ada di lantai paling dasar. Di sini, tanah yang becek, bau anyir yang menyengat, hingga lorong gelap yang menjadi khas sebuah pasar tradisonal sangatlah terasa.
Nah, yang membuat saya tak habis pikir, di lantai bawah itu ada beberapa penjual makanan dan warung nasi yang setiap hari tidak pernah sepi melayani pembeli. Melihat pedagang tersebut kadang kewalahan, saya semakin yakin dengan adagium rezeki ada yang mengatur. Di lantai bawah pasar besar ini adalah contoh nyatanya.
Kalau dilihat secara kasat mata, kok ada ya orang mau makan di tempat kotor dan pengap semacam itu. Namun, percayalah saudara. Soto daging yang ada di sana sangatlah enak. Bau kaldu kuah yang panas benar-benar bisa merontokkan bau anyir yang tercium beberapa meter dari sana.
Jika di lantai bawah berisi pedagang tradisional, maka lantai dua PBM ini penuh dengan toko kain, barang pecah belah, dan baju. Di sini, meski suasananya lebih baik, namun tetap saja kesan pengap masihlah terasa. Tak ada AC Â di sana.
Kalau membandingkan PBM dengan DTC atau Pasar Wonokromo, jelas PBM cukup tertinggal. Di DTC, lantai bawah memang terasa cukup pengap. Tapi tidak dengan lantai atas yang full AC. Makanya, kala saya menemani ibu berbelanja kain di lantai dua ini, saya selalu siap sedia dengan kipas angin kecil yang dinyalakan menggunakan sumber energi baterai.
Lagi dan lagi, walau saya harus menahan panas yang amat sangat, berbelanja kain atau baju di PBM ini sangatlah murah. Sebagai perbandingan, saya pernah membeli satu buah celana panjang hitam dengan harga 60.000 rupiah saja. Jika membeli barang tersebut di Mall, pasti berkisar di atas 120.000 rupiah. Maklum, PBM menjadi pasar grosir terbesar di Kota Malang.
Di lantai dua ini, ada pula optik kacamata yang juga memberikan tarif khusus bagi pelanggannya. Saya pernah membeli frame kacamata seharga 200.000 rupiah. Kala saya menemukan dengan model dan jenis yang sama di optik terkenal, harganya bisa mencapai 500.000 rupiah. Ibu saya sendiri berbelanja kain batik yang digunakan sebagai seragam di sekolahnya. Di sini juga tersedia banyak toko yang menyediakan batik khas sekolah.
Kini, semua itu lenyap. Yang ada, bangunan kosong tempat para gelandangan di Kota Malang tidur dan makan. Hingga akhirnya, tempat tersebut digunakan sebagai tempat mutilasi yang menghebohkan itu. Sang pelaku yang ternyata seorang gelandangan diduga menjadikan lantai 3 PBM sebagai tempat tidur dan tindakan asusila kepada korbannya.
Saya hanya ingin pasar ini dikenal baik layaknya ikon kota lain seperti Pasar Klewer, Pasar Beringharjo, Pasar Turi, ataupun Pasar Tanah Abang. Bukan berita kasus mutilasi yang menghebohkan dan membuat nama pasar tradisional ini semakin kelam. Â Â