Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Kontradiksi Itu Bernama Pasar Besar Malang

9 Juli 2019   08:00 Diperbarui: 13 Juli 2019   07:14 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jadi, tubuh korbannya dipotong menjadi beberapa bagian terus kakinya ditato nama pembunuhnya. Di toilet sama tangganya ada semacam pesan berantai yang aneh dan bikin merinding. Pembunuhnya juga kasih kode pakai meneken bekas yang dipasang di dekat tangga".

Percakapan tersebut saya kutip dari WAG keluarga yang mendeskripsikan betapa mengerikannya kasus mutilasi yang terjadi di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang. Pasar Besar Malang (PBM) adalah tempat itu. Di sini, saya tidak akan membahas lebih lanjut kasus pembunuhan yang hingga kini belum diketahui siapa korban yang termutilasi.

Meski demikian, dengan adanya kasus pembunuhan disertai mutilasi ini, tempat kejadian perkara, Pasar Besar Malang memberikan sebuah gambaran yang selama ini memang benar adanya. Pasar ini adalah kontradiksi dari sebuah pusat ekonomi di sebuah kota besar. Ia ramai dengan pengunjung yang menyesakinya namun menyisakan kisah kelam sendiri.

Kunjungan saya ke PBM selalu atas inisiaitif ibu saya. Menemani beliau berbelanja ketika saya pulang ke Malang, lorong demi lorong PBM seakan sudah tergambar jelas meski saya berada di perantauan. Pasar ini memang strategis. Letaknya berada tak jauh dari Alun-alun Malang dan Stasiun Malang. Tepat di jantung pemukiman empat suku terbesar yang mendiami kota ini, Jawa, Madura, Tionghoa, dan Arab. 

Kalau dikategorikan sebagai pasar tradisional atau modern, saya rasa PBM adalah hasil perpaduan dari keduanya. Pasar ini bisa disebut pasar tradisional dari banyaknya pedagang sayur, buah, daging, dan ayam yang ada di lantai paling dasar. Di sini, tanah yang becek, bau anyir yang menyengat, hingga lorong gelap yang menjadi khas sebuah pasar tradisonal sangatlah terasa.

Lantai 1, tempat segala macam barang dagangan. - Dokpri
Lantai 1, tempat segala macam barang dagangan. - Dokpri
Untunglah, ibu saya jarang sekali mengajak saya berbelanja di bagian ini karena beliau lebih senang berbelanja di Pasar Mergan. Sebuah pasar tradisional yang dekat dengan rumah saya. Tapi, saya seringkali mengantarkan beliau untuk menggiling daging sapi yang akan dimasak sebagai bakso. Stan gilingan ini terletak di bagian dasar pasar yang amat becek.

Lantai 1 yang pengap dan becek. - Dokpri
Lantai 1 yang pengap dan becek. - Dokpri
Menahan bau seharian akibat antrean yang panjang kadang harus saya lakukan. Meski begitu, saya tetap rela melakukannya karena segala jerih payah itu akan terbayar ketika rujak bakso yang dibuat ibu saya matang.

Nah, yang membuat saya tak habis pikir, di lantai bawah itu ada beberapa penjual makanan dan warung nasi yang setiap hari tidak pernah sepi melayani pembeli. Melihat pedagang tersebut kadang kewalahan, saya semakin yakin dengan adagium rezeki ada yang mengatur. Di lantai bawah pasar besar ini adalah contoh nyatanya.

Kalau dilihat secara kasat mata, kok ada ya orang mau makan di tempat kotor dan pengap semacam itu. Namun, percayalah saudara. Soto daging yang ada di sana sangatlah enak. Bau kaldu kuah yang panas benar-benar bisa merontokkan bau anyir yang tercium beberapa meter dari sana.

Jika di lantai bawah berisi pedagang tradisional, maka lantai dua PBM ini penuh dengan toko kain, barang pecah belah, dan baju. Di sini, meski suasananya lebih baik, namun tetap saja kesan pengap masihlah terasa. Tak ada AC  di sana.

Kalau membandingkan PBM dengan DTC atau Pasar Wonokromo, jelas PBM cukup tertinggal. Di DTC, lantai bawah memang terasa cukup pengap. Tapi tidak dengan lantai atas yang full AC. Makanya, kala saya menemani ibu berbelanja kain di lantai dua ini, saya selalu siap sedia dengan kipas angin kecil yang dinyalakan menggunakan sumber energi baterai.

Lagi dan lagi, walau saya harus menahan panas yang amat sangat, berbelanja kain atau baju di PBM ini sangatlah murah. Sebagai perbandingan, saya pernah membeli satu buah celana panjang hitam dengan harga 60.000 rupiah saja. Jika membeli barang tersebut di Mall, pasti berkisar di atas 120.000 rupiah. Maklum, PBM menjadi pasar grosir terbesar di Kota Malang.

Di lantai dua ini, ada pula optik kacamata yang juga memberikan tarif khusus bagi pelanggannya. Saya pernah membeli frame kacamata seharga 200.000 rupiah. Kala saya menemukan dengan model dan jenis yang sama di optik terkenal, harganya bisa mencapai 500.000 rupiah. Ibu saya sendiri berbelanja kain batik yang digunakan sebagai seragam di sekolahnya. Di sini juga tersedia banyak toko yang menyediakan batik khas sekolah.

Lantai 2 yang penuh dengan pakaian dan kain. - Dokpri
Lantai 2 yang penuh dengan pakaian dan kain. - Dokpri
Jika lantai  1 dan 2 PBM begitu riuh dengan aktivitas penjual dan pembeli, suasana itu tak terjadi di lantai 3 dan 4. Di sini, tak satupun aktivitas ekonomi yang dilakukan. Penyebabnya, selepas kebakaran yang terjadi pada 2016 silam, lantai 3 dan 4PBM belum diperbaiki. Dulu, ada tenant Matahari yang menghuninya. Bahkan, ada pula lapangan futsal dan arena balap mobil tamiya di lantai 4. Ada pula pujasera yang juga sangat ramai.

Kini, semua itu lenyap. Yang ada, bangunan kosong tempat para gelandangan di Kota Malang tidur dan makan. Hingga akhirnya, tempat tersebut digunakan sebagai tempat mutilasi yang menghebohkan itu. Sang pelaku yang ternyata seorang gelandangan diduga menjadikan lantai 3 PBM sebagai tempat tidur dan tindakan asusila kepada korbannya.

Jalan bagi pemotor menuju lantai 3 yang memprihatinkan. - Dokpri
Jalan bagi pemotor menuju lantai 3 yang memprihatinkan. - Dokpri
Saya tidak tahu sampai kapan PBM dibiarkan seperti ini. Padahal, sebagai warga kota yang ingin kotanya tertata rapi, pasar ini harus segera dibenahi. Bukankah ada Pasar Oro-Oro Dowo dan Pasar Bareng, dua pasar tradisional di Kota Malang yang sudah berada di atas SOP pasar tradisional kebanyakan? Di sana malah kebersihannya sangat terjaga dan pembeli bisa menggunakan troli layaknya membeli di pasar modern.

Lanskap Kota Malang dilihat dari lantai 3. - Dokpri
Lanskap Kota Malang dilihat dari lantai 3. - Dokpri
Tangga di lantai 3 menuju lantai 4. Di sinilah terjadi penemuan mayat korban mutilsi tercecer dalam beberapa bagian selain di kamar mandi. Sekarang, tempat ini dibiarkan sepi. - Dokpri
Tangga di lantai 3 menuju lantai 4. Di sinilah terjadi penemuan mayat korban mutilsi tercecer dalam beberapa bagian selain di kamar mandi. Sekarang, tempat ini dibiarkan sepi. - Dokpri
Akhirnya, di antara rasa benci saya, kadang muncul rasa rindu berbelanja dan berpanas-panasan sambil makan sempol, makanan khas Kota Malang di PBM ini. Semoga saja, keinginan untuk merevitalisasi pasar tradisional yang menjadi ikon Kota Malang ini benar-benar terlaksana.

Saya hanya ingin pasar ini dikenal baik layaknya ikon kota lain seperti Pasar Klewer, Pasar Beringharjo, Pasar Turi, ataupun Pasar Tanah Abang. Bukan berita kasus mutilasi yang menghebohkan dan membuat nama pasar tradisional ini semakin kelam.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun