"The Buddy" (Singapura)
Apa jadinya jika kita memiliki teman sebangku yang mengidap autis? Mungkin rasa tak nyaman yang akan muncul. Saya sendiri pernah mengalaminya saat sekolah dulu. Teman autis saya benar-benar mengganggu. Ia tak hanya membuat banyak coretan di meja, tapi juga menumpahkan air minum hingga menyobek kertas.
Nah, setelah melihat film ini, saya jadi sadar bahwa memiliki teman autis adalah sebuah karunia. Itulah yang dialami oleh Hidayat yang memiliki teman sebangku bernama Tam. Walau mereka berbeda ras dan Hidayat adalah anak normal, namun ia menganggap Tam sebagai teman, sahabat, bahkan saudara.Â
Hidayat mulanya terganggu dengan Tam yang setiap pelajaran hanya menggambar laba-laba dengan lima kaki. Seiring berjalannya waktu, Hidayat merasa Tam adalah teman terbaiknya. Ia sebenarnya anak yang cerdas dan telah ia buktikan saat Tam membantunya menjawab pertanyaan mencongak dari gurunya.
Sejak saat itu, Hidayat membantu Tam dalam melakukan berbagai kegiatan seperti makan, berganti baju olahraga, dan lainnya. Hidayat pun membantu Tam dalam upaya terapi penyakitnya saat Tam mengalami tantrum selepas ia tak bisa menyelesaikan ujian matematika. Hidayat dengan inisiatifnya sendiri datang ke wali kelasnya untuk menceritakan apa yang ia alami dan rasakan dengan Tam selama beberapa waktu tersebut.
Kisah ini terinspirasi dari sebuah kisah nyata dengan nama yang sama. Hidayat pun diganjar penghargaan oleh Pemerintah Singapura karena peduli terhadap temannya yang autis. Tam pun kemudian diberi terapi khusus hingga akhirnya sembuh dan bisa menggapai mimpinya. Sejak saat itu, Pemerintah Singapura betul-betul serius terhadap upaya pendidikan bagi warganya yang mengidap autis.
"PSLE-Go" (Singapura)
Di sebuah masa akhir sekolah, tersebutlah dua anak perempuan dan laki-laki, Zihui dan Justin yang sama-sama sedang berusaha mencapai nilai terbaik dalam PSLE (semacam ujian kelulusan). Walau berada dalam masa kritis, keduanya memiliki sikap berbeda dalam menyikapinya.
Zihui merasa sangat tertekan dan amat serius dalam belajar. Sedangkan Justin tampak nothing to loose, alias merasa ujian ini akan ia jalani semampunya asal ia tetap mencoba belajar maksimal. Justin pun masih bisa mengembangkan potensi nonakademiknya melalui olahraga polo air.
Sikap kedua orang tua mereka pun berbeda. Orang tua Zihui merasa ini kesempatan bagi anaknya agar bisa mendapatkan sekolah yang terbaik. Kalau diibaratkan, ini semacam UN yang akan membawa anak mereka bisa masuk SMP favorit. Sementara, orang tua Justin menganggap, yang terpenting anaknya sudah berusaha. Perkara nanti hasilnya bagaimana, itu tak menjadi masalah. Toh ada sekolah lain yang bisa menerima anaknya.Â
Pada suatu ketika, hasil uji coba PSLE pun diumumkan. Secara mengejutkan, Zihui mendapat nilai yang tak memuaskan. Tentu, dengan hasil ini, ia merasa sangat tertekan. Ia pun merasa tak ada gunanya untuk terus hidup karena telah mengecewakan orang tuanya. Ujian PSLE yang sudah di depan mata pun seakan menjadi momok yang amat sangat menakutkan. Padahal, Zihui menjalani kelas khusus semacam kelas akselerasi yang jika ia gagal masih ada kesempatan untuk mengulangnya di kelas reguler.