Dalam khazanah budaya Nusantara, seorang pendekar tidak hanya dikenal karena kemampuannya menangkis serangan atau menjatuhkan lawan. Ia dihormati karena akhlaknya, kebijaksanaannya, dan kepekaannya terhadap harmoni sosial. Namun kini, label pendekar justru kadang melekat pada mereka yang membawa keresahan.
Ironisnya, banyak dari mereka yang mengaku "pendekar" justru menjadi simbol ketakutan di tengah masyarakat. Bukankah ini kontradiksi yang menyakitkan?
Ketika masyarakat tidak lagi membedakan antara pesilat sejati dengan tukang ribut berseragam, maka bisa dikatakan pencak silat sedang mengalami krisis identitas.
Pencak Silat dalam Bayang-Bayang Kekerasan Simbolik
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pernah menyebut istilah "kekerasan simbolik" untuk menjelaskan bentuk kekuasaan yang tidak kasat mata, tapi membekas dalam relasi sosial. Dalam konteks pencak silat, kekerasan simbolik itu hadir dalam bentuk dominasi antarperguruan, penindasan oknum atas nama kebanggaan kelompok, dan tekanan sosial kepada anggota baru untuk tunduk pada budaya kekerasan.
Bahkan dalam beberapa kasus, pelatihan fisik yang seharusnya membentuk karakter justru berubah jadi ladang perpeloncoan yang melanggengkan kekerasan. Jika ini terus dibiarkan, maka silat akan tumbuh bukan sebagai warisan budaya luhur, tapi sebagai alat reproduksi kekuasaan yang destruktif.
Regenerasi Rusak: Saat yang Muda Tak Diberi Teladan
Masalah ini juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab generasi senior. Ketika senior lebih bangga dengan jumlah konflik yang pernah dimenangkan daripada keberhasilan membina kader, maka nilai silat menjadi bias. Di sinilah letak pentingnya regenerasi nilai, bukan sekadar regenerasi teknik.
Sebuah organisasi silat tidak bisa disebut berhasil jika hanya menghasilkan pesilat kuat, tapi gagal melahirkan tokoh berintegritas. Karena pada akhirnya, kekuatan otot tidak akan berarti apa-apa tanpa arah dan moral yang memandu.
Solusi Bukan Sekadar Slogan