Mohon tunggu...
ikahw
ikahw Mohon Tunggu... half IRT

Menulis untuk mengingat, membaca untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Rapat ke Meja Makan: Bagaimana Gaji DPR Ikut Menyentuh Kopi di Rumah Kita

18 September 2025   10:00 Diperbarui: 18 September 2025   10:00 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Sering kali kita merasa, urusan politik dan keputusan DPR itu hanya terjadi di gedung megah di Senayan. Seolah-olah itu dunia lain, tak ada hubungannya dengan dapur, belanja harian, atau tabungan keluarga kita. Tapi nyatanya, kebijakan-kebijakan itu masuk juga pelan-pelan, kadang tak terasa, sampai kita menghitung ulang isi dompet di akhir bulan.
Belakangan, publik ramai membicarakan soal tunjangan perumahan DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan. Bukan kenaikan gaji, kata pimpinan DPR, melainkan penggantian fasilitas rumah dinas yang sudah dikembalikan ke pemerintah. Logikanya sederhana: dulu dapat rumah, sekarang diganti tunjangan tunai.

Masalahnya, di luar gedung itu, banyak keluarga sedang menata ulang isi kantong karena harga beras terus naik. Bahkan ada kasus beras dioplos demi mengejar keuntungan. Di pasar, ibu-ibu harus berhitung: apakah uang Rp 50 ribu cukup untuk beras, minyak goreng, dan sayur untuk dua hari ke depan. Di SPBU, orang menimbang: isi bensin full tank atau cukup separuh dulu, karena harga kebutuhan pokok lain juga tak bisa ditunda.
Contoh paling sederhana, bayangkan seorang ayah yang berangkat kerja dengan motor setiap hari. Dulu, uang bensin seminggu bisa Rp 70 ribu, sekarang tembus lebih dari Rp 100 ribu. Ibu di rumah juga harus pintar-pintar menyiasati: dulu bisa beli ayam satu ekor untuk dimasak dua kali, sekarang kadang cukup setengah saja. Sementara anak-anak di sekolah masih tetap butuh pulsa kuota untuk belajar atau hiburan sederhana mereka.

Jadi, ketika ada kebijakan yang memberi tunjangan puluhan juta untuk perumahan pejabat, wajar bila masyarakat bertanya-tanya: apakah kebijakan ini adil? Apakah wakil rakyat benar-benar merasakan denyut persoalan yang sama dengan warganya?
Kebijakan memang tak selalu langsung terasa. Tapi efeknya selalu ada. Kita mungkin tidak merasakan ketika angka-angka keputusan dibacakan di sidang, tapi kita merasakannya ketika harga cabai melonjak, ketika listrik naik, ketika anak menunda beli buku karena uang belanja sudah menipis.
Kalau ada yang berkata, “kenaikan tunjangan itu tidak ada hubungannya dengan hidup rakyat,” mungkin ia lupa: semua uang negara berasal dari pajak dan sumber daya yang seharusnya kembali untuk kesejahteraan rakyat. Termasuk untuk si ibu yang menakar minyak goreng, si bapak yang menunda servis motor, hingga anak yang menabung receh demi jajan sekolah.

Akhirnya, soal kebijakan bukan hanya urusan elite. Ia selalu menemukan jalannya masuk ke rumah kita: ke meja makan, ke sekolah anak-anak, ke sisa uang belanja harian. Maka, pertanyaan pentingnya adalah: apakah setiap keputusan yang dibuat di Senayan sudah benar-benar mempertimbangkan kehidupan di ruang-ruang kecil kita?
Karena di ujung hari, politik yang baik mestinya terasa bukan hanya di gedung parlemen, melainkan juga di meja makan kita dalam bentuk harga beras yang terjangkau, ongkos hidup yang masuk akal, dan rasa adil yang benar-benar nyata.

*

from medium, ditulis 22 Aug 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun