Disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional merupakan tonggak penting dalam perjalanan legislasi Indonesia. Setelah sekian lama bergantung pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indi, yaitu produk hukum peninggalan kolonial Belanda, Indonesia kini memiliki kodifikasi hukum pidana hasil perumusan sendiri. Pembaruan ini didorong oleh semangat dekolonisasi hukum, yakni usaha menghadirkan sistem hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, budaya, serta kondisi sosial masyarakat Indonesia (Hiariej, 2023). Dengan lahirnya KUHP Nasional, diharapkan lahir pula wujud kedaulatan bangsa dalam menetapkan norma pidana yang adil sekaligus memberikan kepastian hukum.
Sejak disahkannya KUHP Nasional, penerapannya tidak lepas dari hambatan. Beberapa ketentuan di dalamnya memicu perdebatan serius, baik di kalangan masyarakat maupun akademisi. Polemik tersebut terutama berkaitan dengan kekhawatiran adanya norma yang dinilai ambigu atau dapat ditafsirkan secara beragam. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan peluang kriminalisasi yang berlebihan serta berpotensi mengancam kebebasan sipil yang telah dijamin konstitusi. Tulisan ini berupaya menelaah secara yuridis sejumlah pasal yang dipandang kontroversial dalam KUHP Nasional, sekaligus mengkaji tantangan implementasinya di tengah tarik-menarik antara semangat dekolonisasi hukum dan risiko pembatasan hak-hak warga negara.
Salah satu isu krusial yang banyak diperbincangkan adalah pengaturan mengenai "hukum yang hidup di masyarakat" atau living law sebagai sumber hukum pidana. Pada tataran konsep, pengakuan terhadap hukum adat dipandang sebagai langkah maju dalam mengakomodasi keragaman sistem hukum di Indonesia. Meski demikian, ketiadaan rumusan dan batasan yang tegas terkait makna living law menimbulkan potensi ketidakpastian hukum. Tanpa adanya kodifikasi maupun ukuran yang pasti, aparat penegak hukum di tiap daerah dapat menafsirkan secara berbeda, sehingga berisiko melahirkan praktik hukum yang tidak seragam dan bahkan diskriminatif karena bertumpu pada norma adat yang belum tertulis (Pratama, 2024).
Di samping itu, ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan lembaga negara kembali dimasukkan dalam KUHP Nasional. Padahal, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal serupa dalam KUHP sebelumnya karena dinilai membatasi kebebasan berekspresi. Kehadiran aturan baru ini menimbulkan kekhawatiran akan digunakan sebagai sarana membungkam suara kritis terhadap pemerintah. Dengan alasan menjaga kehormatan simbol negara, norma tersebut berpotensi ditafsirkan secara luas, sehingga kritik yang seharusnya menjadi bagian penting dari praktik demokrasi bisa diperlakukan sebagai tindak pidana. Kondisi ini memunculkan dilema antara upaya melindungi wibawa institusi negara dan memastikan hak konstitusional masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan tetap terjamin.
Sementara itu, pengaturan mengenai delik kesusilaan yang diperluas, seperti ketentuan tentang kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan) maupun perzinaan, turut memunculkan polemik. Walaupun delik tersebut bersifat aduan absolut yakni hanya dapat ditindaklanjuti apabila ada laporan dari pihak yang dirugikan seperti pasangan sah atau keluarga dekat banyak pihak menilai bahwa regulasi ini merepresentasikan campur tangan negara yang berlebihan dalam ranah privat warga. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam kajiannya menegaskan bahwa ketentuan ini rawan dimanfaatkan untuk melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas maupun individu dengan pilihan gaya hidup yang berbeda dari arus utama (ELSAM, 2023). Alhasil, norma yang sejatinya dimaksudkan untuk menjaga institusi perkawinan justru berisiko berubah menjadi alat pembatasan kebebasan pribadi.
Disahkannya KUHP Nasional merupakan tonggak penting dalam proses dekolonisasi hukum pidana di Indonesia. Meski demikian, keberadaan sejumlah ketentuan yang berpotensi ditafsirkan secara beragam menimbulkan persoalan yang tidak bisa diabaikan. Aturan mengenai living law, penghinaan terhadap Presiden, hingga delik kesusilaan menuntut kehati-hatian tinggi dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum, serta memerlukan kontrol yang ketat dari Mahkamah Agung maupun masyarakat sipil.
Ukuran keberhasilan penerapan KUHP Nasional tidak hanya terletak pada kemampuannya melepaskan diri dari sistem hukum kolonial, tetapi juga pada sejauh mana ia dapat menjamin keadilan, kepastian hukum, serta perlindungan hak asasi manusia. Tanpa adanya pedoman pelaksanaan yang tegas dan komitmen menjaga ruang demokrasi, tujuan ideal dari pembaruan KUHP berisiko terhambat oleh praktik penegakan hukum yang bersifat represif. Karena itu, masa transisi menuju berlakunya KUHP secara penuh perlu dimanfaatkan secara optimal melalui program sosialisasi, peningkatan kapasitas aparat, serta pembukaan ruang dialog untuk memperjelas interpretasi, demi terwujudnya negara hukum yang demokratis.
Â
Sumber ReferensiÂ
- ELSAM. (2023). Laporan Analisis Kritis KUHP Nasional: Potensi Dampak Terhadap Hak Asasi Manusia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
- Hiariej, Eddy O.S. (2023). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Revisi Berdasarkan KUHP Nasional. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
- Pratama, Aditya N. (2024). "Ketidakpastian Hukum dalam Konsep 'The Living Law' pada KUHP Baru". Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 54, No. 1, hlm. 112-130.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI