Mohon tunggu...
Ikhtiyatoh
Ikhtiyatoh Mohon Tunggu... Pengembara

"Jangan memaksakan diri untuk berlari jika memang tak mampu. Cukup kiranya tidak berjalan di tempat hingga hidupmu lebih bermanfaat untuk orang banyak".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gencatan Senjata Perang Tarif AS-China, di Mana Posisi Indonesia?

18 Mei 2025   06:53 Diperbarui: 27 Mei 2025   01:15 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amerika Serikat (AS) yang selama ini getol mengusung pasar bebas, ternyata paling tidak siap menanggung risiko atas kebijakan perdagangan luar negeri tersebut. AS yang dulu menekan China agar lebih terbuka dalam perdagangan, pada akhirnya justru melakukan proteksi produk dalam negerinya. Upaya ekspansi perdagangan yang dilakukan China dipersalahakan oleh AS dengan tudingan bahwa Negeri Tirai Bambu tersebut telah melakukan kecurangan dan ketidakadilan perdagangan yang membahayakan kedaulatan nasional.                  

Perang Tarif

Risiko pasar bebas salah satunya adalah melimpahnya produk impor. Hal ini pun terjadi dalam perdagangan AS yang mana produk impor termasuk produk China membanjir hingga China disebut-sebut mengalami surplus 68% dari ekspor ke AS. Dunia memanas setelah Trump mengumumkan tarif impor baru bertajuk 'Tarif Resiprokal' bagi negara yang mengalami surplus perdagangan, Rabu (2/4/2025). Kebijakan tarif timbal balik tersebut diklaim AS untuk mengakhiri praktik perdagangan yang tidak adil dan melindungi produk dalam negeri.

Meskipun tarif resiprokal diberlakukan bagi lebih dari 50 mitra dagang, tetapi lebih tampak menyasar China. Trump awalnya memberlakukan tarif 10% terhadap produk impor China per Januari 2025. Bulan berikutnya, tarif impor naik menjadi 20%. China pun membalas dengan mengenakan tarif 10-15% terhadap produk agrikultur seperti ayam, kapas, gandum, dan daging dari AS. Per 2 April 2025, AS memberlakukan tarif sebesar 34% terhadap barang impor China dan dibalas dengan tarif yang sama oleh China.

Tak berhenti di situ, tarif impor kembali dinaikkan menjadi 104% oleh AS dan dibalas lagi oleh China dengan tarif 84%. Di saat AS melakukan penundaan tarif untuk negara lain, tarif impor produk China dinaikkan sebesar 125% ditambah 20% tarif sebelumnya hingga menjadi 145%. Puncaknya, mobil listrik dan alat kesehatan dari China dikenakan tarif sebesar 245% per 16 April 2025. Trump seolah-olah ingin memberi hukuman terhadap China atas perdagangan ekspor-impor yang dianggap tidak adil dengan memberlakukan tarif gila-gilaan. 

Diketahui, China menempati urutan kedua yang berkontribusi sekitar 13,5% impor AS. Urutan pertama Meksiko yang berkontribusi sekitar 15,6% impor AS. Urutan ketiga Kanada yang berkontribusi sekitar 12,6% impor AS. Ketiga negara tersebut di tahun 2024 menyumbang sekitar 40% impor AS. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com, impor barang dan jasa AS dari Meksiko mencapai US$466,63 miliar, China senilai US$401,41 miliar, dan Kanada senilai US$377,24 miliar (3/2/2025). Namun, Meksiko dan Kanada tidak masuk daftar tarif resiprokal.  

Senjata Makan Tuan

Selain memproteksi produk lokal, pemberlakuan tarif impor juga berfungsi sebagai sumber pemasukan negara. Seperti diketahui, kebakaran yang melanda AS di bulan Januari lalu tak hanya menimbulkan korban nyawa, tetapi juga mengakibatkan kerusakan luar biasa baik infrastruktur maupun properti. Laporan menyebutkan ada lebih dari 12.000 bangunan rusak dan hancur. Kerugian ekonomi AS diperkirakan mencapai US$135 miliar hingga US$150 miliar atau sekitar Rp2.200 triliun hingga Rp2.447 triliun (tempo.co, 15/1/2025).

Di saat bersamaan, intervensi AS atas invasi Israel di Gaza, atas perang Ukraina-Rusia, dan perang India-Pakistan juga memengaruhi kondisi keuangan AS. Belum lagi utang AS yang makin menggunung. Sekilas, pemberlakuan tarif impor yang tinggi akan menguntungkan. Selain meningkatkan pendapatan negara, kebijakan kenaikan tarif impor bisa menjadi pembuka jalan bagi AS untuk memperbaiki defisit perdagangan. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah dalam negeri, kebijakan tarif resiprokal justru menjadi senjata makan tuan bagi AS.

Kebijakan tarif resiprokal yang sejatinya digunakan untuk memukul China, justru memukul balik AS. Perang tarif menjadikan saham tujuh perusahaan teknologi AS, yaitu Alphabet (induk google), Amazon, Apple, Meta, Microsoft, Nvidia, dan Tesla rontok. Sementara itu, rak-rak Walmart -- perusahaan ritel multinasional Amerika -- mulai banyak yang kosong dan menjadi pemandangan yang mencolok bagi masyarakat di Negeri Paman Sam. Boeing pun ikut terdampak dan terjebak dalam polemik perang tarif.

Namun, ketegangan AS-China sebenarnya bukan kali ini terjadi. Pada masa pemerintahan pertama (2018-2020), Donald Trump menerapkan tarif 25% terhadap produk China terutama produk suku cadang industri. China membalas dengan tarif yang sama untuk produk kendaraan bermotor dan pertanian AS. Upaya gencatan senjata perang tarif pun dilakukan melalui Phase One pada Januari 2020. Saat itu, China berjanji membeli tambahan produk dan jasa AS senilai $200 miliar selama dua tahun, tetapi belum terpenuhi karena Covid-19.

Di masa pemerintahan Joe Biden (2021-2024) hubungan dagang AS-China tak sepanas di masa pemerintahan Trump. Akan tetapi, Biden tetap memberlakukan tarif dari Trump dan meningkatkan bea masuk pada sektor penting seperti kendaraan listrik, aluminium, baja, dan semikonduktor. Biden juga menerapkan kontrol ekspor yang ketat terhadap perkembangan teknologi seperti chip komputer dan kecerdasan buatan (AI). Sementara itu, perusahaan teknologi AS dilarang berbisnis dengan China.

Selain China, sejumlah negara anggota ASEAN juga terkena tarif tinggi seperti Kamboja 49%, Laos 48%, Vietnam 46%, Myanmar 44%, Thailand 36%, dan Indonesia 32%. Gedung putih menyatakan, China selama ini melakukan transshipment (proses pemindahan barang dari kapal ke kapal di tengah laut) demi menghindari tarif. Sejumlah negara anggota ASEAN mendapat tarif tinggi tak lain karena membuka fasilitas bagi China untuk mengirim barang ke AS. Dari sini, tampak bahwa Trump ingin memutus rantai pasok produk China melalui kebijakan tarif.

Padahal, rantai pasok tak seperti jalan tol yang akan terhenti jika jalan diblokir. Rantai pasok ibarat jalan tikus, jika satu jalan ditutup, maka akan dicari jalan alternatif. Artinya, jika AS berupaya menjagal produk China dengan tarif tinggi, China juga akan berupaya mencari mitra dagang lain. Sebelum menentukan tarif impor yang tinggi, tidakkah Trump membayangkan jika mitra dagang ramai-ramai menghentikan pasokan bahan baku atau bahan setengah jadi ke AS? Sebaliknya, apa yang terjadi jika produk AS kompak ditolak oleh mitra dagang?

Terasa aneh jika Trump terang-terangan mengabaikan faktor moral dan solidaritas dalam perdagangan. Trump masih tampak yakin bahwa negara-negara mitra akan tunduk dengan kemauannya, termasuk China. Trump tentu tidak berharap jika China melawan. China sempat menantang kebijakan irasional pemerintah AS dengan tarif balasan sebesar 125% untuk produk AS. Usai gencatan senjata di Jenewa, Presiden China, Xi Jinping justru melakukan upaya manufer dengan mendekati Amerika Latin dan Karibia sebagai mitra dagang.

Genjatan Senjata

Sikap Trump yang keras menantang China berakhir dengan sikap 'mengalah'. Sebelumnya, Trump menyatakan tidak akan menurunkan tarif impor produk China. Pada akhirnya, kedua negara tersebut melakukan gencatan senjata perang tarif di Jenewa, Swis pada tanggal 10-11 Mei 2025. Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson ditunjuk AS sebagai delegasi. Sementara China menunjuk Wakil Perdana Menteri He Lifeng sebagai delegasi. Dalam negosiasi tersebut, kedua pihak bersepakat melakukan pelonggaran tarif selama 90 hari.

Melihat kasus perang tarif AS-China, ada hal yang patut ditilik lebih jauh terkait keberanian China menantang AS. China yang sempat menjadi negara miskin dan terisolir di tahun 1970-an berhasil melakukan transformasi. Negara tersebut berubah menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar dan tercepat di dunia. Berbagai tekanan ekonomi yang dilakukan AS justru menjadikan China melakukan berbagai inovasi hingga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kini, pasar China merambah ke hampir seluruh penjuru dunia.

Meski demikian, kesuksesan China dalam perdagangan internasional tak bisa menutupi kenyataan bahwa negara tersebut juga memiliki masalah kemiskinan. Peneliti senior dari Centre for International Relations Research (CIRR) dan National Chung Cheng University Taiwan, Song Guocheng, menyoroti kondisi China yang sementara mengalami transformasi signifikan dari 'Impian China' menjadi kemiskinan yang meluas. Menurutnya, gambaran situasi ekonomi China saat ini menjadi masalah mendalam dan tidak dapat disembuhkan.

Data Statistik Partai Komunis China (CCP) juga menunjukkan ada kesenjangan ekstrem si kaya dan miskin, yaitu 960 juta warga China (70% total populasi) berpenghasilan kurang dari RMB2.000 (setara Rp4,3 juta) per bulan. Sementara itu, 1% dari populasi China menguasai 90% kekayaan negara. Artinya, 99% sisanya hanya menguasai 10% kekayaan negara. Demikian halnya data World Bank, menunjukkan, kesenjangan antara keluarga terkaya dan termiskin China mencapai 359 kali lipat (international.sindonesw.com, 16/10/2025).

Selain masalah kemiskinan, China juga berhadapan dengan masalah narkoba, perdagangan orang, pembunuhan, dan tindak kriminal lain yang tak bisa dianggap enteng. Amerika, China maupun negara lain yang memilih kapitalisme sebagai sistem ekonomi memang potensial menghadapi kondisi puncak, yaitu pesatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, kondisi puncak tersebut juga secara pasti akan menghantarkan pada kondisi makin tajamnya kesenjangan sosial dan menukiknya kerusakan moral. 

Terlepas dari berbagai masalah yang menimpa China, ada hal yang patut dicontoh, yaitu keberanian Xi Jinping menunjukkan kedaulatan negara di depan negara adidaya seperti AS. Keberanian tersebut bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan, di mana posisi Indonesia dalam menghadapi perang tarif?

Indonesia sendiri mendapat tarif resiprokal sebesar 32%. Tak seperti China, Indonesia memilih jalur negosiasi yang menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya, Indonesia akan menambah impor energi dan produk agrikultur, melakukan kerja sama critical minerals, fasilitasi investasi perusahaan AS, kemitraan SDM dan ekonomi digital, relaksasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN), menyusun kerangka kerja selama 60 hari, menyiapkan paket deregulasi, serta mendorong diversifikasi pasar ekspor (cnbcindonesia.com, 18/4/2025). 

Sejumlah kesepakatan di atas lebih tampak menguntungkan AS. Di tengah panasnya perang tarif, Trump sempat meminta Indonesia menghapus Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Masyarakat Indonesia pun langsung pasang badan. Anehnya, Trump juga meminta pelonggaran aturan TKDN. Padahal, tujuan aturan TKDN adalah untuk membatasi barang-barang impor agar tidak membanjiri pasar dalam negeri. 

Di saat AS berupaya melakukan proteksi produk dalam negeri, seharusnya bisa menolerir Indonesia melakukan upaya yang sama. Lebih aneh lagi, tarif impor untuk produk Indonesia justru naik menjadi 47% setelah dilakukan negosiasi. Dari sini tampak bahwa kebijakan tarif yang dibuat Trump lebih bertujuan untuk mengendalikan mitra dagang. Dari sini pula tampak  bahwa Indonesia belum mampu menunjukkan taringnya di meja perundingan. Kebijakan luar negeri seharusnya dilakukan demi kemaslahatan dalam negeri.

Upaya negosiasi seharusnya dilakukan demi menyelamatkan bangsa dan menjaga kedaulatan negara, bukan untuk tunduk pada pihak lawan demi mencari jalan 'aman'. Jika suatu kebijakan berpotensi merugikan rakyat dan mengancam kedaulatan negara, maka wajib dihentikan. Sebagai contoh kebijakan terkait investasi asing yang selama ini lebih menguntungkan investor sementara rakyat lebih banyak mendapat dampak kerusakan lingkungan. Kebijakan tersebut wajib dievaluasi dan dihentikan. 

Sungguh, rakyat Indonesia sedang menanti momen di mana pemerintah mampu mengatakan 'tidak' pada negara asing. Andai pemerintah memiliki keberanian memegang prinsip sebagai negara berdaulat, maka akan melakukan kesepakatan yang juga bisa menekan AS. Bahkan, pemerintah juga bisa memutus hubungan bilateral dengan AS, mengingat, negara tersebut merupakan sekutu entitas yahudi yang sampai saat ini masih agresif melakukan invasi di Gaza. 

Namun, terlalu banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia yang harus diselesaikan mulai dari masalah darurat seksual, mental, korupsi, residu pilpres hingga kemiskinan terstruktur akibat menguatnya oligarki. Tak heran jika rakyat pesimis Indonesia bisa menjadi negara mandiri tanpa bergantung asing. Rakyat pun pesimis Indonesia bisa lepas dari tekanan asing demi menjaga muruah di depan rakyatnya sendiri. 

Sebagai contoh kasus pagar laut yang mana konflik terjadi di wilayah teritorial sendiri, tetapi tak bisa diatasi secara tuntas. Lalu, bagaimana Indonesia menghadapi perang tarif yang melibatkan pasar internasional?

Silahkan baca naskah sebelumnya, https://www.kompasiana.com/ikhty85/67faeea934777c02d02bfe92/berkas-dilimpahkan-kembali-kasus-pagar-laut-butuh-investigasi-lanjut

Hal lain yang patut menjadi bahan introspeksi adalah kekayaan sumber daya alam (SDA) ternyata bukan jaminan suatu negeri bisa maju dan berdikari. Kapitalisme yang diadopsi dari Barat telah nyata menjatuhkan wibawa negeri yang 'gemah ripah loh jinawi' di mata dunia hingga mudah didikte dan dikendalikan. Menyerahnya AS atas perang tarif dengan China setidaknya menunjukkan, negara adidaya tersebut sedang bermasalah. Sudah saatnya Indonesia melepaskan kapitalisme yang selama ini menjerat.

Wallahu'alam bish showab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun