Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ironi Ayah Antar Anak Sekolah dan ASN Dipotong Tukin: Kita Maunya Apa, Sebenarnya?

14 Juli 2025   17:30 Diperbarui: 14 Juli 2025   17:30 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN).(KOMPAS.com/SUKOCO)

Ironi ini makin kentara saat kita menengok ke daerah lain yang justru bersikap sebaliknya. Seperti yang dilakukan Wali Kota Serang, Budi Rustandi, yang dengan bijak mengimbau seluruh aparatur sipil negara (ASN) untuk meluangkan waktu mengantar anak mereka di hari pertama masuk sekolah. Imbauan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Wali Kota Serang Nomor: 100/11-Pemt/SE/VII/2025 tentang Gerakan Ayah Mengantarkan Anak Sekolah di Hari Pertama.

"Bagi ASN yang memiliki anak usia sekolah dihimbau untuk mengantarkan anak ke sekolah di hari pertama," demikian bunyi salah satu poin dalam surat edaran yang dikutip dari Kompas.com, Minggu (13/7/2025). 

Tak hanya mendukung secara simbolik, SE itu juga menyebut bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang bertujuan memperkuat peran ayah dalam pengasuhan demi mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Lebih lanjut, edaran itu juga mendorong ASN untuk mengedukasi keluarga, kerabat, dan tetangga agar ikut ambil bagian dalam gerakan ini. Pemerintah Kota Serang pun berharap para camat menyampaikan informasi ini hingga ke tingkat RT/RW agar Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah tersosialisasi luas dan benar-benar membekas dalam budaya masyarakat. Ini bukan soal hari pertama sekolah semata, tapi tentang membangun ikatan jangka panjang antara ayah dan anak.

Kontras ini sangat mencolok: satu kota mengancam sanksi potong tukin, kota lain memberi ruang dan dorongan penuh. Apa yang membuat satu wilayah mampu melihat nilai emosional dari momen keluarga, sementara yang lain justru menjadikannya pelanggaran disiplin?

Padahal, bukankah semua bisa dijembatani dengan baik jika ada sedikit empati dan fleksibilitas? Seharusnya ada pengaturan khusus, setidaknya satu jam toleransi atau dispensasi waktu, bagi para ASN yang punya anak usia sekolah di hari pertama masuk. 

Bahkan dalam sistem kerja fleksibel (flexible working hours) yang mulai diadopsi oleh banyak institusi, hal seperti ini bisa diakomodasi tanpa harus mencabut satu helai pun kebijakan kedisiplinan.

Apalagi, ini bukan soal liburan pribadi. Ini tentang kontribusi ASN sebagai warga negara yang memberi teladan positif dalam keluarga. Bukankah kepemimpinan yang baik di rumah akan berdampak pada kepemimpinan yang baik di kantor?

Kita perlu mulai mengubah perspektif bahwa hadirnya ayah di kehidupan anak bukanlah pengorbanan, tapi investasi. Bukan kelemahan, tapi kekuatan. Bukan pelanggaran, tapi bentuk kepatuhan yang lebih besar: pada panggilan moral sebagai orang tua. 

Sudah saatnya kita menolak dikotomi palsu antara keluarga dan pekerjaan. Keduanya bisa berjalan berdampingan bila sistem dibangun dengan empati dan kejelasan visi.

Jika kehadiran ayah terbukti mendongkrak rasa aman anak, memperkuat ikatan keluarga, dan menurunkan risiko depresi serta kenakalan remaja, maka bukankah kita seharusnya memberi insentif pada ayah yang aktif dalam pengasuhan? Bukan malah memotong tukin mereka. Rewarding parenting, bukan punishing presence.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun