Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ironi Ayah Antar Anak Sekolah dan ASN Dipotong Tukin: Kita Maunya Apa, Sebenarnya?

14 Juli 2025   17:30 Diperbarui: 14 Juli 2025   17:30 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN).(KOMPAS.com/SUKOCO)

"Ayah, aku takut sekolah sendirian."
Kalimat sederhana yang bisa membuat seorang ayah melepas dasi kerjanya, menunda panggilan apel pagi, dan memilih mengantar anaknya ke gerbang sekolah. Bagi sebagian anak, hari pertama masuk sekolah bisa jadi momen paling membekas dalam hidup mereka. 

Sayangnya, di negeri ini, niat baik tak selalu sejalan dengan sistem. Tanggal 14 Juli 2025 menjadi bukti, bahwa kebijakan yang tampaknya mulia bisa jadi ironi ketika satu tangan pemerintah mendorong ayah hadir, tapi tangan lainnya justru menghukum kehadiran itu dengan pemotongan tunjangan.

Hari pertama sekolah mestinya menjadi panggung emosional bagi keluarga---utamanya bagi ayah yang selama ini distereotipkan sebagai figur yang "jauh tapi ada." 

Maka, ketika Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga), Wihaji, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, masyarakat menyambut dengan hangat. 

Sebuah langkah maju untuk mendorong kehadiran ayah dalam pengasuhan, yang selama ini kerap absen baik secara fisik maupun emosional.

Statistik memang bicara jujur dan menyakitkan. UNICEF dan berbagai lembaga nasional mencatat bahwa lebih dari 20 persen anak Indonesia kehilangan figur ayah. Banyak yang tumbuh tanpa pelukan atau sekadar kata-kata penyemangat dari seorang bapak. 

Lebih menyedihkan lagi, 33 persen remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, namun hanya 4,3 persen orang tua yang menyadari anak mereka butuh bantuan. Maka, kehadiran ayah bukan sekadar simbol: ia adalah kebutuhan psikologis, sosial, dan emosional anak-anak Indonesia hari ini.

Namun sayangnya, seperti biasa, niat baik tak selalu mendapat dukungan penuh dari sistem birokrasi. Pada hari yang sama saat ratusan ayah dengan bangga menggandeng tangan anak-anak mereka menuju gerbang sekolah, Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menyatakan: "ASN telat, tukinnya dipotong."

Kalimat yang kaku dan teknokratis itu seperti membanting harapan banyak keluarga ke lantai marmer kantor pemerintahan. Sebuah ironi telanjang. Di satu sisi, negara mengimbau ayah agar hadir di hari pertama sekolah anak, tapi di sisi lain, kehadiran itu harus dibayar mahal oleh aparatur negara yang ingin menaati imbauan tersebut. Maka pertanyaannya: Kita ini sebenarnya maunya apa?

Sejak kapan kehadiran seorang ayah di sekolah anak menjadi kesalahan administratif? Bukankah negara selama ini meratapi lemahnya peran ayah dalam rumah tangga, menggelar seminar parenting, meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), membentuk komunitas ayah, dan mengembangkan program Sekolah Bersama Ayah (SEBAYA)? Tapi saat ayah betul-betul hadir, yang terjadi justru pemotongan tukin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun