Contoh nyata: Google Translate kerap terjebak stereotip gender. Kalimat "dia adalah perawat dan dia adalah dokter" dalam bahasa Inggris kerap diterjemahkan ke "she is a nurse and he is a doctor".Â
Terakhir, dan yang paling penting, kita harus memastikan bahwa manusia tetap menjadi "hakim" terakhir.
Teknologi boleh berkembang, tapi nilai kemanusiaan tak boleh tergantikan. Seperti kata Andrew Barto, penerima Turing Award bersama Sutton, AI adalah alat, bukan tujuan.
Masa depannya tergantung pada bagaimana kita---sebagai pengguna, pembuat kebijakan, atau sekadar orang biasa---memilih untuk mempergunakannya.Â
Jadi, lain kali Anda menggunakan Google Translate dan menemukan hasil terjemahan yang lucu, jangan cuma di-screenshot untuk bahan story WhatsApp.
Renungkanlah: itu adalah cermin dari masa depan AI yang sedang kita tulis bersama. Masa depan di mana mesin bisa meniru kecerdasan manusia, tapi belum tentu memahami kebijaksanaannya.
Tugas kitalah untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tak mengikis hal-hal yang membuat kita tetap manusia: rasa empati, kepekaan budaya, dan kesadaran bahwa tak semua hal bisa direduksi menjadi data dan probabilitas.Â
Sebab, seperti kata Gesang dalam lagu Bengawan Solo, "musim kemarau, tak seberapa ai... akhirnya ke laut..."---mesin mungkin bisa menerjemahkan lirik itu, tapi hanya manusia yang bisa merasakan rindunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI