Lalu, apa hubungannya dengan masa depan AI? Semuanya bermula dari cara kerja large language models (LLM) seperti ChatGPT atau DeepSeek.
Mereka adalah "cucu canggih" dari teknologi Google Translate: sama-sama mengandalkan data raksasa dan probabilitas, tapi dengan tambahan transformers---sistem yang memungkinkan AI memahami konteks kata.
LLM masa kini tak cuma menerjemahkan, tapi juga menulis puisi, membuat kode program, bahkan mengarang cerpen romantis ala Mira W. Tapi di balik kepintarannya, mereka mewarisi masalah klasik yang belum tuntas: ketidakmampuan memahami makna seutuhnya.Â
Rich Sutton, pakar komputer peraih Turing Award 2024, pernah menulis esai berjudul The Bitter Lesson. Intinya, sejarah AI membuktikan bahwa metode paling efektif adalah komputasi intensif---bukan mengandalkan pengetahuan manusia.
Benar, tapi ada "pelajaran pahit" lain yang sering diabaikan: AI hanya sebaik data yang dimakannya. Google Translate gagap menerjemahkan bahasa minor karena datanya terbatas.
ChatGPT pun, meski fasih berbahasa Indonesia, kerap salah mengutip nama tokoh sejarah atau istilah lokal. Coba tanyakan, "Siapa pencipta lagu Bengawan Solo?" Jawabannya bisa Gesang, tapi tak jarang ia menyebut Ismail Marzuki. Mirip seperti mahasiswa yang sok tahu saat ujian.Â
Industri AI sedang demam dengan model seperti DeepSeek asal Cina, yang disebut-sebut setara ChatGPT tapi lebih murah. Ini pertanda LLM akan segera menjadi komoditas---murah, mudah diakses, tapi juga rentan disalahgunakan.
Bayangkan aplikasi AI hukum murahan yang menjanjikan surat gugatan instan, atau chatbot kesehatan yang mendiagnosis penyakit berdasarkan gejala seadanya.
Persis seperti Google Translate yang sering dipaksa jadi "penerjemah dadakan" di situasi genting. Bedanya, dampak kesalahan LLM bisa lebih fatal.
Di AS, dua pengacara pernah dihukum karena menggunakan ChatGPT untuk membuat dokumen hukum berisi putusan fiktif. Kasus ini bukan lagi sekadar salah terjemah, tapi menciptakan realitas palsu.Â
Tapi di tengah kekhawatiran itu, manusia tetap bandel. Kita terus memakai Google Translate untuk chat dengan bule di Tinder, meski tahu hasilnya bisa berantakan.