Menopause sering dianggap sebagai titik balik dalam kehidupan perempuan, bukan hanya secara fisik tapi juga emosional.
Di Indonesia, topik ini masih kerap diselimuti tabu, padahal sekitar 30% perempuan berusia 45-55 tahun mengalami gejala menopause yang memengaruhi kualitas hidup, termasuk hubungan intim dengan pasangan.
Data dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menyebutkan, 65% perempuan menopause mengaku libidonya menurun drastis, sementara 40% pasangan mengeluhkan ketidakharmonisan rumah tangga akibat perubahan ini.
Bahkan, riset Journal of Marriage and Family (2020) mengungkap, risiko perselingkuhan suami meningkat 20% ketika kepuasan seksual dalam pernikahan menurun---fenomena yang kerap dipicu oleh ketidaksiapan menghadapi fase menopause. Â
Kisah-kisah seperti Nurdin (49) dan Ratih (45) mungkin terdengar familiar. Setelah 20 tahun menikah, hubungan mereka mulai retak saat Rina memasuki menopause dini.
Nurdin merasa ditolak secara fisik, sementara Ratih berjuang melawan rasa sakit saat berhubungan dan perubahan mood yang tak terkendali.
Nurdin akhirnya mencari pelarian di luar pernikahan, sebuah keputusan yang ia sesali kemudian.
"Saya tidak tahu harus bagaimana. Saya pikir itu masalah egois saya, tapi saya juga tidak mengerti apa yang terjadi padanya," akunya.
Cerita ini bukan sekadar drama keluarga, melainkan cermin dari ketidaktahuan banyak pasangan tentang cara merawat keintiman di tengah perubahan biologis yang alami. Â
Kunci pertama adalah komunikasi yang jujur dan penuh empati. Banyak suami, seperti Nurdin, merasa "ditinggalkan" tanpa menyadari bahwa istri mereka mungkin sedang berperang dengan gejala fisik yang melelahkan---vagina kering, hot flashes, atau kecemasan berlebihan.