Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramadan Tanpa Sampah, Buka Puasa Bijak

14 Maret 2025   11:46 Diperbarui: 14 Maret 2025   12:00 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadan, bulan penuh berkah, pahala berlipat, dan... sampah makanan yang meroket 20%? Ya, di tengah gegap gempita buka puasa bersama, ada satu "tradisi" yang diam-diam ikut meramaikan: diet sampah.

Bukan diet untuk manusia, tapi diet untuk tempat sampah yang setiap hari kebanjiran sisa kolak, ketupat, dan ayam goreng yang gagal dihabiskan.

Bayangkan saja, setelah seharian perut kita berpuasa, mata dan tangan malah kalap membeli takjil seolah-olah perut kita adalah gudang tanpa dasar. Alhasil, sampah organik pun menumpuk, dan landfill (TPA) menjerit: "Aku juga mau puasa, dong!"  

Mari kita akui, saat azan Maghrib berkumandang, nalar manusia seringkali hangus digantikan oleh naluri "survival" ala zombie lapar. Kita membeli lima jenis takjil, mengambil nasi sepiring gunung, plus es blewah tiga gelas---seakan-akan besok tidak ada lagi buka puasa.

Padahal, perut kita hanya sebesar toples kue Lebaran yang sudah dijarah sepupu-sepupu. Hasilnya? Separuh makanan berakhir di tempat sampah, dan kita pun bertanya: "Ini food waste atau waste of money?"  

Tapi, jangan salahkan perut. Ia hanya korban dari lapar mata yang akut. Sementara itu, sampah makanan yang terbuang mulai menggelinding seperti bola salju menuju TPA.

Di sana, mereka bertemu dengan nasib yang muram: menumpuk, membusuk, lalu menyebarkan bau yang bisa mengalahkan aroma rendang semalam.

Lebih parah lagi, sampah organik ini bukan sekadar bau. Mereka adalah dalang di balik drama lingkungan: leachate (cairan sampah) yang meresap ke tanah seperti ninja pencemar air, gas metana yang bersembunyi di balik tumpukan sampah siap meledak seperti fireworks tanpa undangan, hingga risiko longsor yang membuat TPA lebih mirip rollercoaster maut.  

Bayangkan gas metana sebagai badut jahat di pesta iklim. Dia 28 kali lebih nakal daripada karbon dioksida dalam memerangkap panas. Setiap kali kita membuang nasi sisa, gas ini tertawa sambil berkata: "Terima kasih, ya! Aku akan panaskan bumi lebih cepat!"

Belum lagi, saat TPA kelebihan beban, dia bisa meledak dan mengundang kebakaran yang asapnya lebih tebal daripada hiruk-pikuk pasar Ramadan. Tragedi Leuwigajah 2005 adalah contoh nyata: sampah bukan cuma bikin pusing, tapi juga bisa jadi siluman penghancur.  

Lantas, bagaimana menghentikan diet sampah ini? Pertama, mari kita akui bahwa "mata lebih besar dari perut" bukanlah prinsip hidup yang sehat. Saat berbuka, ambil makanan secukupnya---bukan seberapa banyak tangan bisa menjangkau.

Takjil bukanlah ajang balap food hoarding. Jika perlu, buat daftar belanja sebelum ke pasar, dan katakan pada diri sendiri: "Promo 'beli dua gratis satu' itu bukan tantangan wajib, Saudara!"  

Kedua, sisa makanan jangan langsung dikirim ke TPA. Jadikan mereka pahlawan dengan mengolahnya jadi kompos atau pakan ternak. Siapa sangka, ampas kopi dan kulit pisang bisa jadi superfood untuk tanaman di kebun? Atau, manfaatkan biodigester untuk mengubah sampah jadi energi. Bayangkan: gas metana yang tadinya jahat bisa disulap jadi listrik untuk menerangi rumah-rumah. "Dari sampah, untuk masa depan!"  

Di sisi pemerintah, sudah saatnya TPA bukan sekadar hotel sampah berfasilitas seadanya. Perlu sistem pengolahan lindi yang canggih, pemantauan gas metana ketat, dan desain TPA yang anti-longsor.

Jika gas metana bisa ditangkap untuk energi, mengapa dibiarkan jadi bom waktu? Pemerintah juga bisa mempromosikan gerakan zero waste Ramadan lewat kampanye kreatif. Misalnya: "Takjil Bawa Wadah Sendiri" atau "Makan Habis, Pahala Double".  

Yang tak kalah penting: edukasi. Masyarakat perlu paham bahwa mengurangi sampah makanan adalah bagian dari ibadah. Bukankah Ramadan mengajarkan kita untuk tidak berlebihan? Jika Nabi Muhammad SAW melarang mubazir, maka membuang makanan adalah bentuk ketidakbersyukuran. Jadi, mari puasa juga dari sifat rakus---biar perut kenyang, lingkungan senang, dan pahala pun tidak kabur bersama sampah.  

Pada akhirnya, diet sampah saat Ramadan bukan hanya tentang menyelamatkan bumi, tapi juga tentang menghargai setiap butir nasi yang merupakan rezeki.

Tak lucu jika sampah makanan bisa protes: "Aku lahir dari uang dan keringat manusia, tapi diakhiri di tempat kumuh. Ini undian berhadiah apa?!" Jadi, yuk, jadikan Ramadan kali ini sebagai momentum untuk lebih bijak. Karena bumi yang sehat adalah warisan terbaik untuk generasi mendatang---bukan tumpukan metana dan kolam lindi.  

Sekarang, saatnya kita buka puasa dengan hati dan akal, bukan hanya dengan mata dan nafsu. Biarlah sampah makanan berkurang, dan pahala kita mengalir deras---seperti es campur yang diminum setelah seharian berpuasa.

Selamat menikmati takjil, dan jangan lupa: habiskanlah, jangan jadi sampah!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun