Lantas, bagaimana menghentikan diet sampah ini? Pertama, mari kita akui bahwa "mata lebih besar dari perut" bukanlah prinsip hidup yang sehat. Saat berbuka, ambil makanan secukupnya---bukan seberapa banyak tangan bisa menjangkau.
Takjil bukanlah ajang balap food hoarding. Jika perlu, buat daftar belanja sebelum ke pasar, dan katakan pada diri sendiri: "Promo 'beli dua gratis satu' itu bukan tantangan wajib, Saudara!" Â
Kedua, sisa makanan jangan langsung dikirim ke TPA. Jadikan mereka pahlawan dengan mengolahnya jadi kompos atau pakan ternak. Siapa sangka, ampas kopi dan kulit pisang bisa jadi superfood untuk tanaman di kebun? Atau, manfaatkan biodigester untuk mengubah sampah jadi energi. Bayangkan: gas metana yang tadinya jahat bisa disulap jadi listrik untuk menerangi rumah-rumah. "Dari sampah, untuk masa depan!" Â
Di sisi pemerintah, sudah saatnya TPA bukan sekadar hotel sampah berfasilitas seadanya. Perlu sistem pengolahan lindi yang canggih, pemantauan gas metana ketat, dan desain TPA yang anti-longsor.
Jika gas metana bisa ditangkap untuk energi, mengapa dibiarkan jadi bom waktu? Pemerintah juga bisa mempromosikan gerakan zero waste Ramadan lewat kampanye kreatif. Misalnya: "Takjil Bawa Wadah Sendiri" atau "Makan Habis, Pahala Double". Â
Yang tak kalah penting: edukasi. Masyarakat perlu paham bahwa mengurangi sampah makanan adalah bagian dari ibadah. Bukankah Ramadan mengajarkan kita untuk tidak berlebihan? Jika Nabi Muhammad SAW melarang mubazir, maka membuang makanan adalah bentuk ketidakbersyukuran. Jadi, mari puasa juga dari sifat rakus---biar perut kenyang, lingkungan senang, dan pahala pun tidak kabur bersama sampah. Â
Pada akhirnya, diet sampah saat Ramadan bukan hanya tentang menyelamatkan bumi, tapi juga tentang menghargai setiap butir nasi yang merupakan rezeki.
Tak lucu jika sampah makanan bisa protes: "Aku lahir dari uang dan keringat manusia, tapi diakhiri di tempat kumuh. Ini undian berhadiah apa?!" Jadi, yuk, jadikan Ramadan kali ini sebagai momentum untuk lebih bijak. Karena bumi yang sehat adalah warisan terbaik untuk generasi mendatang---bukan tumpukan metana dan kolam lindi. Â
Sekarang, saatnya kita buka puasa dengan hati dan akal, bukan hanya dengan mata dan nafsu. Biarlah sampah makanan berkurang, dan pahala kita mengalir deras---seperti es campur yang diminum setelah seharian berpuasa.
Selamat menikmati takjil, dan jangan lupa: habiskanlah, jangan jadi sampah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI