Sejak dulu, Oscar sering diidentikan dengan "pacuan kuda"--sebuah ajang di mana posisi setiap kandidat bisa berubah seketika. Satu film bisa melesat menjadi favorit, lalu tergusur oleh yang lain.
Jarang ada momen pacuan dramatis seperti yang terjadi pada 8 Februari lalu, saat Directors Guild of America (DGA) dan Producers Guild of America (PGA) secara bersamaan menganugerahi penghargaan tertinggi mereka kepada "Anora", film karya Sean Baker yang mengisahkan pekerja seks yang nekat menikahi putra pemboros oligark Rusia, sebelum hidupnya berantakan saat keluarga sang suami ikut campur. Â
Kemenangan ganda "Anora" di dua guild prestisius itu seketika mengubah peta perlombaan. Film itu langsung dinobatkan sebagai kandidat terkuat untuk Best Picture.Â
Seminggu kemudian, Writers Guild of America (WGA) menambahkan pemanis dengan memberikan penghargaan Best Original Screenplay kepada Anora.Â
Ironisnya, status "favorit" ini sebenarnya sudah semestinya melekat pada Anora sejak lama. Sejak memenangkan Palme d'Or di Cannes Mei lalu, film ini sudah memikat kritikus dan penikmat sinema.Â
Entah mengapa, gelombang pembicaraan tentang Oscar justru mengalihkan perhatian ke The Brutalist dan Emilia Perez, sementara Anora dianggap terlalu "indie" untuk bersaing di kasta tertinggi. Â
Tapi Oscar bukan sekadar tentang kualitas---ia adalah permainan narasi. Ketika Emilia Prez tersandung kontroversi tweet bernada rasis yang pernah diposting oleh Karla Sofa Gascn (salah satu nominasi Best Actress), jalan terbuka lebar untuk Anora---sang underdog yang tiba-tiba menjadi primadona.Â
Inilah esensi musim Oscar 2025: tahun di mana narasi tentang film justru lebih dominan daripada film itu sendiri. Â
Sejarah Oscar mencatat dua jenis narasi klasik. Pertama, faktor "It's time!": penghargaan yang diberikan sebagai pengakuan atas dedikasi panjang seorang seniman, terlepas dari apakah karya terkininya benar-benar yang terbaik.Â
John Wayne meraih Oscar untuk True Grit (1969) setelah puluhan tahun berkarier, Al Pacino memenangkan tropi untuk Scent of a Woman (1992) meski dianggap bukan penampilan terbaiknya, dan Martin Scorsese akhirnya diakui lewat The Departed (2006) setelah sering kali diabaikan.Â