Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Narasi yang Mengubah Takdir "Anora"

2 Maret 2025   11:04 Diperbarui: 3 Maret 2025   12:49 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piala Oscar (AFP PHOTO/JOE KLAMAR via KOMPAS.COM)

Narasi kedua, yang lebih manipulatif, berasal dari era Harvey Weinstein: kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan dengan memanfaatkan media. 

Contohnya, upaya merusak reputasi A Beautiful Mind (2001) dengan menyoroti kontroversi tokoh yang diangkatnya, atau kritik tidak berdasar bahwa Saving Private Ryan (1998) "hanya bagus di adegan pembuka".  

Kini, narasi Oscar telah berevolusi menjadi entitas yang jauh lebih kompleks. Media sosial, liputan klikbait, dan hasrat publik untuk mengonsumsi skandal telah mengubah setiap nominasi menjadi medan perang persepsi. 

Ambil contoh Demi Moore, yang diunggulkan sebagai Best Actress lewat film The Substance. Dukungan untuknya tidak hanya didasari faktor "It's time!" (mengingat ia belum pernah menang Oscar).

Tetapi juga karena perannya sebagai aktris yang melawan stereotip usia---sebuah cerminan dari perjuangan Moore sendiri di industri yang sering mengesampingkan perempuan paruh baya.  

Di sisi lain, hampir setiap nominasi Best Picture tahun ini terseret dalam narasi negatif. The Brutalist dituding menggunakan AI untuk memperkuat visualnya (meski teknologi serupa juga dipakai banyak film lain). 

Anora dikritik karena adegan intimnya tanpa "penata adegan", meski Mikey Madison, pemeran utamanya, dengan cerdas menjawab isu itu hingga redup. 

Sementara itu, Emilia Prez---yang semula diagungkan karena mencalonkan aktris trans pertama---justru terjungkal setelah tweet-tweet kontroversial Gascn terkuak, mengubahnya dari ikon progresif menjadi bahan olokan.  

Lalu ada Conclave, film thriller politik yang sempat dianggap terlalu "biasa" untuk Oscar. Alih-alih diabaikan karena formulaik, justru dalam detik-detik akhir, film ini muncul sebagai "penyelamat" bagi pemirsa yang jenuh dengan drama naratif di sekitarnya. 

Paradoks ini menggambarkan betapa tak terduganya dinamika Oscar kini: film tidak lagi dinilai semata dari cerita yang dibawanya, melainkan juga dari cerita yang dikisahkan tentangnya.  

Dalam ekosistem seperti ini, batas antara realitas dan konstruksi media semakin kabur. Setiap kontroversi, setiap pernyataan politis, bahkan setiap kesalahan masa lalu seorang nominator, bisa menjadi senjata pemungkas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun