Â
Dunia internasional kembali diguncang drama geopolitik yang memanas. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dengan wajah lelah namun penuh tekad, sekali lagi menegaskan penolakannya terhadap segala bentuk perundingan damai yang mengabaikan negaranya.
Sikapnya ini muncul sebagai respons keras terhadap pembicaraan rahasia AS dan Rusia di Arab Saudi---sebuah pertemuan yang disebut "sangat baik" oleh mantan Presiden AS Donald Trump, tetapi justru dianggap Zelensky sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan Ukraina.Â
Trump, yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang blak-blakan, tak ragu menyulut kontroversi. Dalam konferensi pers di Mar-a-Lago, Florida, ia secara terbuka menyalahkan Ukraina sebagai "pemicu perang", bahkan menyarankan agar Zelensky menggelar pemilu presiden secepatnya.
"Setelah tiga tahun, perang seharusnya berakhir. Kita tidak seharusnya memulainya," ujarnya, seolah melupakan fakta bahwa perang ini dimulai oleh invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
Pernyataan Trump ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga mengundang kritik pedas. Corey Schake dari American Enterprise Institute (AEI) menyebutnya sebagai "pembalikan memalukan" kebijakan luar negeri AS yang telah bertahan sejak Perang Dunia II.Â
Di sisi lain, Zelensky---yang tingkat persetujuannya disebut Trump hanya 4%---justru menunjukkan keteguhan yang jarang terlihat. Dalam wawancara dengan The Guardian dan New York Times, ia menegaskan bahwa "tidak ada keputusan tentang cara mengakhiri perang di Ukraina yang bisa dibuat tanpa Ukraina."
Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari prinsip yang dipegangnya sejak hari pertama invasi: kedaulatan Ukraina adalah harga mati. Bahkan, Zelensky sampai menunda kunjungannya ke Arab Saudi sebagai bentuk protes, dengan alasan "tidak ingin mengambil risiko" terlibat dalam pembicaraan yang mengabaikan posisi negaranya.Â
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di balik layar? Pertemuan AS-Rusia di Arab Saudi disebut membahas normalisasi misi diplomatik, pembentukan tim negosiasi damai, dan peluang kerja sama ekonomi pascaperang.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bahkan mengisyaratkan pencabutan sanksi terhadap Rusia jika perang berakhir. Namun, detail ini justru mengkhawatirkan banyak pihak. Bagi Ukraina, pembicaraan semacam itu terasa seperti pengorbanan kepentingan mereka demi kepentingan AS dan Rusia.
Apalagi, tuntutan Rusia agar pemilu Ukraina digelar sebelum perjanjian damai---sebuah langkah yang bisa membuka jalan bagi pemerintahan pro-Rusia---dianggap Zelensky sebagai upaya merongrong demokrasi.Â
Trump, yang kerap memuji kedekatan dengan Putin, juga membuat pernyataan mengejutkan tentang "ribuan tentara Korea Utara" yang tewas di medan perang. Klaim ini belum dikonfirmasi oleh Rusia maupun Korea Utara, tetapi jika benar, bisa menjadi bukti adanya aliansi militer terselubung antara kedua negara---sesuatu yang memperumit peta konflik.
Di saat yang sama, Trump menegaskan bahwa AS tidak akan mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina dengan alasan geografis: "Karena kita berjauhan." Pernyataan ini kontras dengan dukungan militer AS sebelumnya, yang justru menjadi tulang punggung pertahanan Ukraina.Â
Reaksi Zelensky terhadap semua ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak awal perang, ia dikenal sebagai pemimpin yang lihai memanfaatkan diplomasi publik. Dari video pidato di depan parlemen negara-negara Barat hingga kampanye media sosial yang viral, Zelensky berhasil mengubah narasi perang dari "konflik regional" menjadi "pertarungan antara demokrasi dan otoritarianisme.
"Namun, kali ini, nada bicaranya berbeda. Ada kegelisahan yang terasa ketika ia menyebut pertemuan AS-Rusia sebagai "ultimatum Putin yang dibungkus diplomasi." Baginya, ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan pertaruhan harga diri bangsa yang telah bertahan di bawah gempuran roket, kehilangan wilayah, dan puluhan ribu nyawa melayang.Â
Yang menarik, New York Times mencatat pergeseran strategi Zelensky. Jika sebelumnya ia berusaha "memikat" Trump dengan janji transparansi dan kerja sama, kini ia justru mengambil sikap konfrontatif.
Ini mungkin terdengar riskan, mengingat Trump bisa kembali menjadi presiden AS pada 2024. Tapi bagi Zelensky, prinsip tidak bisa dikompromikan. "Bahkan di saat paling sulit, Ukraina menolak ultimatum Rusia. Mengapa sekarang kami harus menerimanya?" ujarnya.Â
Di tengah hiruk-pikuk ini, Uni Eropa---yang juga menjatuhkan sanksi ke Rusia---tampak berdiri di persimpangan. Rubio menyebut bahwa "Rusia harus datang ke meja perundingan," tetapi tanpa kejelasan mekanisme yang melibatkan Ukraina, pernyataan itu terdengar hampa. Apalagi, desakan AS untuk mencabut sanksi bisa diinterpretasikan sebagai kemenangan diplomasi Rusia, yang sejak awal ingin melemahkan solidaritas Barat.Â
Pertanyaannya kini: apakah perundingan AS-Rusia tanpa Ukraina adalah langkah pragmatis untuk mengakhiri perang, atau bentuk pengabaian terhadap korban agresi? Bagi Zelensky, jawabannya jelas.
Ia menegaskan bahwa wilayah timur dan selatan yang kini dikuasai Rusia "akan tetap menjadi bagian Ukraina, tanpa kompromi." Ini adalah pesan tegas bahwa perdamaian tidak bisa dibangun di atas penderitaan satu pihak.Â
Namun, realpolitik seringkali tidak seideal itu. Trump, dengan logika "deal-maker"-nya, mungkin melihat perang Ukraina sebagai masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan transaksi.
Tapi bagi Ukraina, ini adalah soal eksistensi. Ketegangan antara dua perspektif ini memperlihatkan betapa rumitnya konflik yang telah berlangsung dua tahun lebih. Di satu sisi, tekanan global untuk menghentikan pertumpahan darah semakin besar. Di sisi lain, mengorbankan prinsip kedaulatan bisa menjadi preseden buruk bagi keamanan internasional.Â
Apa pun hasilnya, sikap Zelensky patut diapresiasi. Di tengah tekanan dari negara adidaya, ia memilih untuk tidak membungkuk. Tapi, apakah keberaniannya cukup untuk mengubah dinamika perundingan?
Jawabannya mungkin terletak pada seberapa kuat masyarakat internasional bersikap---tidak hanya melalui retorika, tetapi juga tindakan nyata. Sebab, seperti kata Zelensky sendiri: "Perdamaian bukanlah hadiah yang diberikan kepada yang kuat, tetapi hak yang harus diperjuangkan oleh yang benar."
Referensi:
https://www.mk.co.kr/news/world/11244635
https://www.khan.co.kr/article/202502191600001
https://www.nytimes.com/2025/02/18/briefing/us-russia-hamas-hostages-migrants-panama.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI