Senior Hamas, Sami Abu Zuhri, dengan tegas mengecam rencana tersebut sebagai "pengusiran dari tanah mereka," sebuah cerminan dari ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat Palestina yang telah lama merasa dikhianati oleh kekuatan-kekuatan besar dunia.
Dalam wacana yang penuh gejolak ini, tampak jelas bahwa gagasan Trump tidak sekadar merupakan kebijakan luar negeri yang biasa. Gagasan ini mengandung elemen naratif yang menggabungkan ambisi nasionalisme, kepentingan geopolitik, dan visi modernisasi yang kontroversial.
Bagi sebagian kalangan konservatif, terutama di kalangan pendukung politik ekstrem kanan Israel, ide ini bisa jadi merupakan sebuah langkah strategis untuk mengakhiri dominasi Hamas di Gaza. Namun, bagi banyak pihak, ide tersebut memicu ketakutan akan terciptanya preseden baru yang bisa membuka pintu bagi intervensi militer yang tidak adil dan eksploitatif terhadap wilayah yang telah lama menderita.
Pengamatan lebih mendalam menunjukkan bahwa di balik retorika Trump, tersimpan pula keinginan untuk membangun citra baru Amerika Serikat di panggung dunia. Dengan mengusulkan intervensi langsung di wilayah konflik seperti Gaza, Trump seolah ingin menegaskan dominasi AS atas geopolitik Timur Tengah, sekaligus menciptakan narasi baru yang mengubah persepsi tentang peran Amerika di dunia.
Langkah ini, meskipun dikemas dengan janji-janji kemakmuran dan pembangunan, tetap menyisakan tanya besar: apakah Amerika Serikat benar-benar siap menanggung konsekuensi dari campur tangan yang begitu jauh ke dalam urusan internal negara lain?
Seiring berjalannya waktu, realitas di Gaza semakin mendesak untuk diselesaikan. Konflik yang bermula dari pertempuran antara Israel dan Hamas telah menewaskan ribuan jiwa, terutama di kalangan wanita dan anak-anak, dan menciptakan situasi kemanusiaan yang kritis.
Pengungsi yang semakin banyak, infrastruktur yang hancur, dan tekanan ekonomi yang menjerat membuat Gaza kian terpuruk. Dalam konteks inilah, ide untuk "merombak" Gaza dengan pengambilalihan oleh Amerika Serikat muncul sebagai solusi radikal yang, meskipun memiliki niat untuk menciptakan keamanan dan pembangunan, pada kenyataannya menimbulkan pertanyaan etis dan praktis yang sulit dijawab.
Sementara itu, reaksi dari dunia internasional menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Pemerintah-pemerintah di Timur Tengah, terutama yang telah lama menjadi pendukung kemerdekaan Palestina, menganggap langkah ini sebagai ancaman terhadap stabilitas regional.
Bahkan beberapa negara Barat, meskipun memiliki hubungan strategis dengan Amerika Serikat, tampak enggan mendukung kebijakan yang dapat membuka jalan bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam upaya mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi konflik di Gaza.
Lebih jauh lagi, keputusan Trump untuk menarik diri dari beberapa badan PBB, seperti UNRWA dan Dewan Hak Asasi Manusia, merupakan sinyal bahwa administrasi ini cenderung mengutamakan kebijakan unilateral yang lebih mengedepankan kepentingan nasional dibandingkan kerja sama multilateral.
Langkah tersebut, selain memperkuat kesan ekspansi kekuasaan, juga memperuncing pertanyaan mengenai komitmen Amerika Serikat terhadap penyelesaian masalah kemanusiaan global.