Mengurai Kritik dan Harapan Baru di Balik Organisasi Desa: Dari APDESI menuju APDESI Merah Putih
Organisasi desa memiliki peran vital sebagai jembatan aspirasi dan wadah konsolidasi bagi para pelaku pembangunan di tingkat akar rumput. Namun, telah lama bayangan kritik menyelimuti salah satu asosiasi terbesar, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI). Kritik tersebut bukan tanpa dasar, berakar pada anggapan bahwa APDESI cenderung terfokus pada kepentingan tunggal Kepala Desa (Kepala desa), mengesampingkan spektrum luas yang sejatinya membentuk entitas "Pemerintah Desa".
Kesenjangan Representasi dalam Pemerintah Desa
Dalam diskursus pemerintahan desa, seringkali terjadi simplifikasi pemahaman, di mana Kepala Desa dianggap merepresentasikan keseluruhan "pemerintah desa". Padahal, pemerintahan desa adalah sebuah orkestra yang terdiri dari Kepala Desa, Perangkat Desa (Sekretaris Desa, Kepala Urusan, Kepala Seksi, dan Kepala Dusun), serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Fenomena ini diperparah oleh dinamika di lapangan. Tak sedikit kepala desa yang alih-alih menjadi pemimpin substantif, hanya berperan sebagai simbol kepemimpinan belaka, sementara operasional dan administrasi harian seringkali ditopang oleh kinerja Perangkat Desa. Sayangnya, APDESI yang lama nyaris tak terdengar gaungnya dalam menyuarakan kebutuhan elemen lain, mereka hanya berfokus pada kepentingan kepala desa dan bukan desa secara keseluruhan.
Bukti paling nyata dari ketidakseimbangan ini terlihat jelas dalam proses revisi Undang-Undang tentang Desa (misalnya, UU Nomor 6 Tahun 2014 yang kini telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2024). Tuntutan yang paling lantang dan berhasil diakomodir secara signifikan adalah yang berkaitan dengan Kepala Desa, yaitu:
- Perpanjangan Masa Jabatan: Perubahan masa jabatan Kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun untuk dua periode.
- Dana Operasional: Penambahan alokasi dana operasional pemerintah desa (yang pada implementasinya masih banyak diklaimhak-nya kepala desa.
- Tunjangan Purna Tugas: Wacana tunjangan purna tugas yang turut menguat.
Sementara itu, aspirasi krusial dari Perangkat Desa seperti kejelasan status kepegawaian, peningkatan jenjang karir, perlindungan hukum yang lebih kuat, atau bahkan perubahan signifikan pada regulasi pengangkatan dan pemberhentian yang seringkali rentan politisasi kepala desa tampak minim prioritas dan belum terakomodir secara substansial setara dengan tuntutan Kepala desa. Perangkat Desa masih menghadapi ketidakpastian status, dengan penghasilan tetap yang terkadang belum optimal dan rentan intervensi dari kebijakan lokal.
APDESI Merah Putih: Menggeser 'Pemerintah' menjadi 'Pemerintahan'
Di tengah krisis representasi ini, lahir sebuah entitas baru yang membawa napas segar: APDESI Merah Putih. Langkah strategis yang dilakukan organisasi ini adalah pergeseran nomenklatur dari "Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia" menjadi fokus yang lebih inklusif. Meskipun secara legal formal APDESI Merah Putih merupakan salah satu kubu atau transformasi dari organisasi sebelumnya, semangat yang diusung oleh kelompok ini adalah memperluas cakupan organisasi untuk mencakup seluruh komponen "Pemerintahan Desa" yang terdiri dari Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD.
Perubahan fokus dari 'Pemerintah' (yang kerap dimaknai tunggal sebagai eksekutif/Kepala desa) menjadi 'Pemerintahan' (sebuah sistem yang melibatkan eksekutif dan legislatif desa) menjadi kunci penting. Ini bukan sekadar pergantian kata, melainkan janji filosofis untuk mewujudkan:
- Inklusivitas Aspirasi: Memastikan suara Perangkat Desa (yang menjadi tulang punggung administrasi) dan BPD (yang menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi di desa) memiliki kanal perjuangan yang setara dan efektif.
- Penguatan Checks and Balances: Mendorong sinergi dan kontrol internal yang sehat antarlembaga desa, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas tata kelola desa secara keseluruhan.
- Desa sebagai Subjek Pembangunan: Menjauhkan desa dari sekadar fokus pada kepentingan jabatan individu, dan mengembalikannya pada visi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.