Mohon tunggu...
Khairul Ikhsan
Khairul Ikhsan Mohon Tunggu... Selamat datang di media masa seputar perkembangan ilmu pengetahuan

Disini kita akan membahas terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Tradisi ke Makna: Menjadikan Bukber Lebih Dari Sekadar Kebiasaan

15 Maret 2025   23:20 Diperbarui: 15 Maret 2025   23:20 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buka puasa bersama (Sumber: Pribadi)

Buka bersama atau bukber telah menjadi bagian dari budaya Ramadhan yang dinanti-nantikan. Setiap tahunnya, ajakan bukber datang dari berbagai arah: teman sekolah, rekan kerja, keluarga besar, hingga komunitas tertentu. Namun, di balik antusiasme itu, pernahkah kita bertanya: apakah bukber benar-benar membawa makna, atau sekadar menjadi rutinitas sosial yang kita lakukan tanpa berpikir lebih dalam?

Saya pernah berada di titik di mana bukber terasa seperti kewajiban. Kalender Ramadhan saya penuh dengan undangan, dan setiap pekan saya harus meluangkan waktu untuk menghadiri satu atau dua acara berbuka. Awalnya, saya menikmati suasana reuni, tetapi lama-kelamaan, saya merasa lelah. Saya mulai mempertanyakan, apakah bukber masih menjadi momen yang berarti atau hanya sekadar formalitas yang harus dijalani?

Pengalaman itu membuat saya mengubah cara saya melihat bukber. Saya mulai lebih selektif dalam menghadiri acara berbuka. Saya bertanya pada diri sendiri: apakah pertemuan ini akan membawa kebersamaan yang hangat? Apakah ini kesempatan untuk mempererat silaturahmi atau sekadar kumpul-kumpul tanpa arah? Keputusan untuk lebih sadar dalam memilih bukber yang saya hadiri ternyata membawa perubahan besar dalam cara saya menikmati momen ini.

Bukber seharusnya lebih dari sekadar makan bersama. Ia bisa menjadi momen untuk memperdalam hubungan dengan orang-orang yang jarang kita temui. Saya pernah menghadiri bukber kecil dengan beberapa teman lama, di mana kami sengaja tidak memegang ponsel selama makan. Hasilnya, kami terlibat dalam percakapan yang lebih bermakna, saling bertukar cerita tanpa gangguan, dan benar-benar menikmati kebersamaan.

Di sisi lain, ada juga bukber yang terasa hampa. Saya pernah menghadiri sebuah acara berbuka di restoran mewah, di mana hampir semua orang sibuk dengan ponsel mereka, mengabadikan makanan dan suasana tanpa benar-benar berinteraksi satu sama lain. Saya duduk di sana, menyantap hidangan lezat, tetapi merasa asing di tengah keramaian. Saat itulah saya sadar bahwa bukan tempat atau makanan yang membuat bukber istimewa, tetapi kualitas kebersamaan yang terjalin.

Untuk menjadikan bukber lebih bermakna, saya mulai mencari cara untuk memberi nilai lebih pada setiap pertemuan. Salah satunya adalah dengan menambahkan unsur berbagi. Suatu kali, saya dan teman-teman sepakat untuk mengalokasikan sebagian uang yang biasanya kami gunakan untuk makan di restoran ke dalam donasi untuk anak yatim. Setelah berbuka, kami bersama-sama menyerahkan bantuan ke sebuah panti asuhan. Momen itu memberi perasaan yang jauh lebih mendalam dibanding sekadar menikmati hidangan lezat.

Selain berbagi materi, saya juga mencoba berbagi pengalaman dan inspirasi dalam setiap bukber yang saya hadiri. Dalam satu pertemuan, kami sepakat untuk saling berbagi satu hikmah yang kami dapatkan selama setahun terakhir. Obrolan itu membuka banyak perspektif baru dan membuat saya lebih memahami perjalanan hidup teman-teman saya. Ternyata, sebuah pertemuan sederhana bisa menjadi ruang refleksi yang sangat berharga.

Bukber juga bisa menjadi momen untuk memperbaiki hubungan yang sempat merenggang. Saya pernah menginisiasi bukber dengan seseorang yang pernah memiliki konflik dengan saya. Dalam suasana Ramadhan yang penuh berkah, kami akhirnya berbicara dengan hati yang lebih terbuka. Apa yang sebelumnya terasa sulit untuk diungkapkan, akhirnya bisa disampaikan dengan lebih ringan. Kadang, kebersamaan dalam satu meja makan bisa menjadi awal dari rekonsiliasi yang telah lama tertunda.

Banyak orang juga lupa bahwa bukber bukan hanya untuk teman-teman sebaya, tetapi juga keluarga. Saya pernah begitu sibuk menghadiri berbagai undangan bukber hingga lupa meluangkan waktu untuk berbuka bersama orang tua. Padahal, bukber di rumah dengan keluarga bisa jadi lebih berarti daripada acara mewah di luar. Sejak saat itu, saya berusaha menyisihkan setidaknya beberapa hari dalam Ramadhan untuk berbuka dengan mereka, menikmati masakan rumah yang penuh kehangatan.

Terkadang, bukber terbaik adalah yang paling sederhana. Saya pernah menghabiskan waktu berbuka hanya dengan seorang teman di sebuah warung kecil. Kami berbincang panjang tentang kehidupan, saling mendengarkan cerita satu sama lain. Tanpa kemewahan atau dekorasi berlebihan, momen itu justru terasa lebih tulus dan mendalam. Dari situ saya belajar bahwa keintiman dalam kebersamaan jauh lebih berharga daripada suasana yang ramai tetapi kosong makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun