Aku ingin menyusuri lagi jalan-jalan Angsana bersamamu, di mana kita akan melewati blok demi blok, memutari tugu ikan, lalu berakhir di rumah makan. Memesan sepiring makanan laut kesukaanmu, lengkap dengan nasi dan sambal yang tidak terlalu pedas. Kita melahapnya sembari menunggu senja mengawinkan siang dan malam, sebelum langit memutuskan untuk mendekap gelap.
Kemudian, kita bergegas menuju pantai yang menjorok langsung ke laut lepas. Jika beruntung, kita bisa menikmati lagi indahnya sunset pantai Angsana, dengan irama deburan ombak memecah karang dan nyanyian camar-camar yang bersahutan.
Saat itu, kita merasa begitu dekat, seperti desau angin darat dan semilirnya yang berembus membelai rambutmu. Melerakkan hawa dingin di sepanjang pesisir, lalu berakhir di lautan. Sehingga kita merasa perlu melakukan hal-hal purba. Semisal membungkus diri kita dalam masing-masing pelukan.
Dan ketika matahari telah benar-benar tenggelam. Hingga tak menyisakan secuil pun awan bermega merah. Kita akhirnya pulang. Menyusuri jalan yang telah dijamah malam, membeli sekotak martabak untukmu, lalu berakhir di rumah masing-masing. Di mana yang tersisa hanyalah mengulang-ngulang kembali hal-hal yang sama di kepala kita, lagi dan lagi. Sepertiku saat ini.
Angsana, 29 Januari 2020