Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ribut Soal Presidential Threshold

19 Desember 2021   16:06 Diperbarui: 19 Desember 2021   16:45 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam mewujudkan pembangunan demokrasi yang lebih baik, sesungguhnya bangsa kita telah mengalami capaian kualitas demokrasi dibanding pemilu era Orde Baru walaupun tetap terbuka ruang untuk memperbaiki sistem pemilu agar menghasilkan wakil rakyat, kepala daerah, presiden terbaik dengan biaya pemilu yang wajar.

Menyempurnakan sistem kepemiluan sebagai negara yang baru 4 (empat) kali menyelenggarakan pemilu langsung, tentu baik kita belajar dari pengalaman negara lain yang telah sukses. Namun demokrasi kita bukanlah copy paste. Tetap harus memperhatikan kesejarahan, kultur, geografi dan faktor demografi.

Artinya kita tidak bisa membandingkan begitu saja pemberlakuan Presidential threshold dengan negara lain yang memang sistem pemilunya berbeda apalagi membandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer.

Misalnya dengan Amerika Serikat. Indonesia dan AS sama-sama menganut bentuk Republik, pemerintahan presidensial namun AS bentuk negaranya serikat sehingga AS sejak awal kemerdekaannya dengan alasan bentangan geografi dan demografi membentuk Electoral College untuk memilih Presiden.

Sementara Indonesia mendesain pemilihan presiden melalui MPRRI (dinikmati Soeharto 32 tahun) sebelum memilih sistem "liberal" one man one vote sejak pilpres 2004.

Sebelum kita ikut-ikutan mengomentari bahkan menuntut Presidential Threshold sebagai kepentingan oligarki ada baiknya kita awali dengan mengenal bentuk dan sistem kita dalam bernegara.

Diawal kemerdekaan Indonesia para pendiri bangsa bersepakat membentuk Indonesia sebagai "republik" bukan otokrasi (fasisme) atau oligarki (kelompok tertentu) maupun monarki (kerajaan).
Penegasan ini dikuatkan pada konstitusi Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

Sistem presidensial (kongresional) merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif terpisah dengan kekuasaan legislatif dan dipilih melalui pemilu.
Disamping sebagai kepala negara, Presiden sekaligus sebagai kepala pemerintahan.

Sedangkan negara yang menganut sistem parlementer adalah sistem pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam sistem pemerintahan parlementer, parlemen memiliki kekuasaan dan kewenangan yang besar dalam mengawasi kebijakan eksekutif dengan mengangkat dan memberhentikan Perdana Menteri.

Walaupun Indonesia berbentuk Republik namun setelah pengesahan konstitusi UUD1945 tanggal 18 Agustus 1945 Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta tak dipilih melalui pemilu bahkan bentuk pemerintahan pun masih "coba-coba" dengan memisahkan kepala pemerintahan dengan adanya Perdana Menteri pertama yaitu Sutan Sahrir yang bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).

Melalui Maklumat Pemerintah lahirlah multi partai dengan terselenggaranya Pemilu pertama tahun 1955.
Namun Badan Konstituante hasil pemilu 1955 gagal menyempurnakan UUDS1950 hingga1959, maka Sukarno membubarkan Badan Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD1945 sekaligus menjadikan Sukarno sebagai presiden kepala negara dan kepala pemerintahan seumur hidup hingga peristiwa kudeta 1965.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun