Mohon tunggu...
Ika Sunarmi
Ika Sunarmi Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi. (Helvy Tiana Rosa)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia Sahabatku

25 November 2020   12:53 Diperbarui: 25 November 2020   12:57 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana kantin Q-te masih tetap ramai, meski hari telah menjelang sore. Justeru disaat-saat seperti ini makin banyak anak FKIP ekstensi yang menikmati berbagai hidangan khas kantin Q-te.

Aku memilih duduk di sudut luar. Selain karena di dalam sudah cukup penuh, aku ingin menghindari sepasang kekasih yang tengah asyik bercanda di sudut dalam. Aku tak pernah sanggup melihat kemesraan itu, tapi aku tak pernah mampu menghalanginya. Bahkan ketika semuanya belum terjadi, aku tak bisa melakukan apa-apa.

"Vin, Dicko mw ajak aku keluar malam ini, menurutmu gimana?" Cindy meminta pendapatku. Tetapi waktu itu, aku tak punya kemampuan untuk melarangnya. Dan akhirnya kubiarkan mereka pergi.

Dan ketika besok nya aku bertemu Cindy di kampus, dengan riang dia menyampai kan kabar gembira baginya, tetapi bagi itu adalah kabar buruk. " Vin, aku dah jadian sama Dicko." aku tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, marahkah, menangiskah, atau tertawa. Yang bisa aku lakukan hanya mengucapkan "selamat ya Cin." Lalu beranjak pergi. Secepat mungkin.

Dan sejak mereka jadian sudah lebih dari setahun ini, kulewati hari-hariku di Kampus dengan hati yang tercabik-cabik. Melihat mereka selalu bersama, entah di kantin, di kampus atau pun di taman.

Sering kali Cindy mengajakku pergi bareng, tetapi aku selalu menolaknya. Aku tahu benar bahwa Cindy merasakan perubahan sikapku. Tetapi aku selalu berusaha untuk menutupinya. Meski kadang hatiku mendesak untuk mengatakan apa sebenarnya yang terjadi denganku karena dia sahabatku.

Entahlah, sejak Cindy bersama Dicko, aku tak lagi punya teman. Selama ini aku selalu tertutup dengan mereka. Dan kurasa mereka juga sudah cukup capek dengan sikapku yang selalu acuh tak acuh terhadap mereka. Tak sedikit yang menganggap aku sombong. Tapi mereka tak ada yang cocok denganku.

Aku lebih suka menghabiskan waktuku di perpustakaan dan belajar di taman. Aku selalu berusaha menghindari Cindy dan Dicko. Karena tak hanya sekali aku meneteskan air mata setiap kali melihat mereka.

Tapi hari ini, entah mengapa. Aku justeru ingin terus melihat mereka. Rasanya aku ingin tahu apa saja yang akan mereka kerjakan hari ini. Pandanganku tak lepas dari tempat mereka duduk.

"Permisi mbak ." suara pelayan katin Q-te membuatku sedikit tersentak.

"maaf mau pesan apa mbak ?"

"Bakso sama es jeruk kecil deh mbak."

Aku kembali pada lamunanku. Aku tak tahan dengan keadaanku sekarang, tapi kedekatan mereka. Kadang aku sadar tak seharusnya aku memiliki perasaan ini, seharusnya aku sadar aku tak boleh memiliki perasaan ini, ini keliru.

Tapi apa cukup dengan kesadaraan sesaat saja, aku tetap tak pernah bisa berhenti menyimpan perasaan ini. Aku tak pernah bisa menerima keadaan ini. Aku hanya ingin dia menjadi milikku seorang, bukan yang lain.

"Sendirian aja Vin ?"

Andra mengagetkanku lagi dan langsung saja dia duduk di kursi kosong sebelahku. Cowok satu ini tak pernah berhenti meyakinkanku tentang perasaannya. Meski sudah sekian kali aku menghindarinya. Tetapi dia tak pernah menyerah. Kadang aku bosan juga menghindari dia.

"kok diam aja ?"

"emang mesti ngapain ?"

"ya jawab dong pertanyaan aku "

"emang masih perlu ya? Bukannya kamu udah liat sendiri ?"

"Vin, kenapa sih kamu selalu ketus sama aku ? emang apa sich Vin salah aku sama kamu ? "

" . . . . ."

"Vin, jangan diam aja donk, kasih aku penjelasan "

"mending kamu gak usah kejar-kejar aku lagi deh Dra "

"Apa aku salah kalau aku suka sama kamu?"

"Nggak Dra, nggak salah kalau kamu suka sama aku. Tapi aku . . . ,"

"Tapi kenapa Vin, kamu udah punya cowok?"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Tak tahu harus bilang apa. Tak mungkin aku katakan padanya tentang perasaanku. Selama ini tak ada yang tahu tentang perasaanku selain aku sendiri dan Cetty, buku Diaryku.

"Lalu . . ."

"Udahlah Dra, mendingan sekarang kamu tinggalin aku sendiri."

"Tapi Vin . . ."

"Andra, aku lagi pengen sendiri."

"OK. Tapi sampai kapan pun aku akan tetap menunggu kamu Vin."

Akhirnya Andra meninggalkan aku juga. Di pojok sana Cindy masih asyik bersama Nicko.

Selesai makan aku memutuskan untuk pergi dari kantin. Cindy dan Nicko masih belum pergi juga. Aku memilih duduk di taman. Tapi lama-lama bosan. Apalagi Cindy dan Nicko juga ke taman sehabis dari kantin. Kali ini aku benar-benar tak sanggup melihat kemesraan mereka.

Aku berjalan tapi tak tahu harus kemana? Yang pasti aku akan tetap mengikuti kemana kaki ini melangkah, mungkin hingga ke ujung dunia di mana aku tak lagi bisa melihat mereka. Di mana, di tempat aku bisa menenangkan diriku sendiri. Dan tanpa ada makhluk yang bernama Andra.

Aku tak peduli dengan sekitarku, dan aku tak sadar ternyata aku sudah sampai di jalan raya, di samping tugu 'digulis.' Dan aku tak bisa ke mana-mana ketika sebuah mobil sudah tepat berada di depanku dan aku tak dapat menghindari lagi.

Aku baru mampu membuka mataku ketika ku rasakan sekujur tubuhku sakit. Tangan dan kakiku terasa perih, kepalaku rasanya berdenyut-denyut tak karuan, dan pandanganku masih kabur. Aku belum bisa dengan jelas mengenali sosok di samping kananku.

Ketika aku benar-benar mampu melihat dengan jelas, ternyata mama dan papa sedang memandangku penuh rasa kasih. Di samping kiri tempatku berbaring ada Cindy, Dicko, dan Andra.

Terlihat kesedihan terpancar dari mata mereka. Apalagi mama, dia terlihat begitu terpukul melihat keadaanku sekarang.

"Sayang, kamu makan ya ?" mama mencoba menutupi kesedihannya.

Aku hanya mengelengkan kepala, aku sama sekali tak merasakan lapar. Yang ada hanya rasa sakit di sekujur tubuhku dan hatiku yang kian perih melihat Dicko mengenggam erat tangan Cindy.

"Cindy, aku pingin ngomong sama kamu, " aku hanya mampu berucap lirih, tapi kurasa mereka masih mampu mendengarnya. Karena mereka semua segera meninggalkan ruangan, membiarkan aku hanya bersama dengan Cindy.

"Vin, kenapa bisa kayak gini, " Cindy mencemaskanku.

"Cind, ada sesuatu yang harus kamu tahu "

"Apa Vin ?"

Kulihat rasa penasaran dari sorot mata Cindy, ya Tuhan apakah aku mampu mengatakannya. Apakah yang akan terjadi nanti. Apakah aku masih bisa bersahabat dengan Cindy, bila nanti dia tahu yang sebenarnya apa yang aku rasakan.

"Cin, aku tahu ini salah . . . . "

Aku tak sanggup meneruskannya. Rasanya mulutku mulai terkunci, aku tak tahu apakah aku sudah siap atau belum.

"Aku tahu ini tak seharusnya terjadi, tapi aku tidak bisa menolak Cin."

Aku merasakan pipiku mulai basah oleh air mataku. Dengan lembut Cindy mengusapnya.

"Cin . . . "

"Sebenarnya apa yang terjadi Vin, " aku merasakan kekhawatiran yang dirasakan Cindy.

Aku mulai menyusun kekuatan lagi. Mau tidak mau dan siap tidak siap aku harus berani menghadapi segala resikonya nanti. Aku tak tahan didera rasa sakit yang kian menyiksa, menggerogoti hatiku.

"Cin, tak seharusnya aku memiliki perasaan ini. Aku cemburu melihat kalian bersama, dan selalu bercanda "

"Kamu menyukai Dicko ?"

Aku tak tahu sekarang harus jawab apa. Sebenarnya bukan tak tahu tapi tak mampu untuk menjawabnya.

"Kenapa kamu diam Vin ?"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

"Lalu, " kulihat binar ketidaktahuan di mata Cindy.

"Kamu "

"Apa ?"

"Aku mencintai kamu Cin "

"Itu tidak mungkin Vin "

"kenapa tidak Cin, selama ini aku selalu rela lakukan apa saja buat kamu. Aku tahu ini salah, tapi aku tak mampu menolaknya Cin. Aku mencintai kamu Cin "

"Nggak, itu nggak mungkin, " Cindy berlari meninggalkan aku sambil terus berlari.

Kali ini aku tak tahu apa yang bakal aku lakukan lagi. Cindy pasti sangat membenci aku. Mama dan papa pasti sock berat. Mereka mungkin tak bisa terima dengan keadaanku yang sebenarnya. tapi aku tak bisa melakukan apa-apa.

Sudah sering aku mencoba untuk mencintai Andra. Tapi aku tak pernah bisa. Padahal dia sudah cukup baik padaku. Bukan Cuma Andra, tapi setiap cowok, tapi aku tak pernah bisa. Justeru sejak pertama mengenal Cindy hatiku selalu berdebar-debar dan aku selalu cemburu setiap kali dia bercakap-cakap dengan teman-teman cowok.

"Vin . . . "

Ternyata Andra sudah di sampingku.

"Kamu gak pa-pa kan, " tanyanya cemas. " Vin, sampai kapanpun aku tetap sayang sama kamu "

"Tapi Dra "

"Aku dah tahu semuanya Vin, kemarin tanpa sengaja aku nemuin buku diary kamu di taman kampus. dan sorry aku sudah lancang membacanya "

"Aku gak peduli Dra "

"Dan sebenarnya tadi siang itu aku mau balikin buku kamu, nich, " Andra menyerahkan Cetty padaku. Aku mendekap Cetty erat-erat.

"Makasih ya Dra. Untung kamu yang nemuin bukan orang lain "

"Vin, aku yakin kamu bisa berubah. Dan aku akan selalu mendorong kamu "

"Andra "

"Aku nggak peduli dengan keadaan kamu sekarang Vin. Aku tetap sayang sama kamu "

Ya Tuhan, ternyata Andra begitu tulus. Selama ini aku sudah salah menilai dia. Mungkin ini saatnya aku mulai mencoba untuk berubah. Aku akan mencoba menerima kehadiran Andra dalam kehidupanku.

"Makasih Andra, maafin aku selama ini terlalu jahat sama kamu "

"kamu maukan memulai semua dari awal bersamaku Vin "

"aku akan mencobanya Dra "

Andra meraihku dalam dekapannya. Baru kali ini ku merasa damai dalam sebuah pelukan. Terima kasih tuhan ternyata masih ada Andra yang dengan tulus menyayangi aku, dan mau menerima aku apa adanya.

Pontianak, 3 Februari 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun