Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Rajin dan Jujur, Akankah di Abad 21 Harus Tergusur?

27 September 2025   22:09 Diperbarui: 27 September 2025   22:09 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto. Kompas dot com

Suatu ketika tanpa sengaja, saya membaca status WA seorang teman. Ia menulis di statusnya, "Wujud mikro kekecewaan terhadap kondisi bangsa ini pada masalah korupsi adalah adanya anak-anak yang curang saat ujian tapi dibiarkan begitu saja oleh orang-orang di sekitarnya!"

Langsung saya wapri teman saya tersebut sambil bertanya, memangnya ada masalah apa. Ia pun lalu berkeluh kesah tentang nasib anaknya di sekolah. 

Setiap kali ujian, entah itu ulangan harian, bahkan ujian akhir semester, anaknya selalu berusaha belajar sebelum ujian. Saat ujian di sekolah, anaknya juga selalu jujur, mengerjakan ujiannya sendiri.

Sayangnya, tidak demikian bagi kebanyakan teman-teman di sekitarnya. Banyak yang menyontek. Bahkan mirisnya, hal itu dibiarkan oleh guru yang ada di kelas. 

Katanya, beberapa kali juga pernah terjadi, anak-anak ujian, tapi ditunggui oleh pihak lain. Terkadang mahasiswa PPL, KKN, atau anak-anak SMA yang sedang melakukan pengabdian di sekolah tersebut. 

"Pas anak-anak ini ditunggui ujian, terus mereka tanya jawaban soal, eh, lha kok malah dijawab. Kan aku jadi gemes denger cerita anakku!" cerita teman saya tersebut.

Teman saya ini memang selalu menekankan pada anaknya untuk jujur, mengerjakan ujian sendiri. Ia tidak peduli hasil ujian anaknya akan dapat nilai berapa. Karena baginya, yang penting anaknya sudah berproses untuk berusaha.

Namun ada yang mengganjal, dan kami berdua sepemikian tentang suatu hal. Bagaimana dengan anak-anak yang selama ini selalu rajin belajar, selalu berusaha jujur, tapi ia akhirnya tersingkir oleh anak-anak yang curang saat ujian? Sampai kapan anak-anak ini akan kuat iman, untuk tidak tergoda ikut-ikutan teman-temannya yang berlaku curang? 

"Nah, itu yang aku pikirkan. Iya kayak anakku, yang masih keukeuh nggak mau ikut-ikutan. Bagaimana dengan anak lain yang malah kepikiran, ah, orang temanku curang saja nggak dapat konsekuensi kok! Mereka lho, aman-aman saja. Nggak pakai belajar, modal nyontek, nilai bagus, dapat ranking. Kenapa aku nggak ikut-ikutan saja? Yang penting kan bisa dapat ranking tiga besar. Terus, bisa dipakai buat masuk SMP jalur prestasi!"

Saya yang mendengar hasil pemikiran teman saya itu pun jadi menghela napas panjang. Entah mengapa, di otak saya langsung terpikir nasib masa depan negara ini kalau SDMnya kebanyakan punya pola pemikiran dan tindakan seperti itu.

Korupsi jadi Budaya, Dimulai dari Mana?

Apa yang dikeluhkan oleh teman saya di status WA-nya sebetulnya ada dasarnya. Nyatanya, ada hubungan antara budaya korupsi yang saat ini masih merajalela di Indonesia, dengan budaya kecurangan dalam ujian pada anak-anak di sekolah.

Mari kita bicara tentang korupsi terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, atau perusahaan dan sebagainya, untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kata korupsi jika diikuti oleh waktu, bahkan bisa juga berarti penggunaan waktu dinas untuk urusan pribadi. 

Intinya, istilah korupsi bisa dilekatkan pada segala aktivitas yang berkaitan dengan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi. 

Sementara itu, berdasarkan Laporan Kumpulan Data Seputar Korupsi di Indonesia 20 tahun terakhir hingga 2024 yang saya dapati dari dataindonesia.id ada hal unik tentang fenomena korupsi di Indonesia. 

Berdasarkan laporan Transparency International Indonesia atau TII, Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada tahun 2024, faktanya mengalami peningkatan menjadi 37 poin. 

Uniknya, menurut Badan Pusat Statistik atau BPS, sikap masyarakat terhadap korupsi malah makin permisif atau terbuka. Banyak masyarakat yang membolehkan, membiarkan, atau mengizinkan praktek korupsi ini terjadi di sekitarnya. Hal ini ditandai dengan menurunnya skor Indeks Perilaku Anti Korupsi atau IPAK pada tahun 2024.

Ini artinya, korupsi makin banyak. Namun makin banyak juga masyarakat yang tidak peduli, atau membiarkan itu terjadi. Padahal korupsi itu bagian dari kecurangan. Ada oknum yang sengaja tidak jujur, tidak adil, atau menipu pihak lain, demi meraih keuntungan dirinya sendiri.

Karena itulah, saya dan teman saya pun sependapat, kecurangan dalam ujian anak-anak di sekolah juga satu di antara akar masalah dari korupsi yang dilakukan orang-orang dewasa. Sejak kecil sudah berani curang, tidak jujur dalam ujian.

Parahnya, orang-orang di sekitarnya lalu abai tentang hal ini. Menganggap biasa, tidak memberi konsekuensi apapun. Alhasil sikap curang ini lantas menjadi budaya yang terbawa hingga dewasa, hingga di dunia kerja.

Pendidikan Bermutu tidak Hanya untuk Mengejar Prestasi

Saat ini, masih banyak orang yang menganggap pendidikan bermutu itu bisa didapat dari sekolah yang mencetak anak-anak berprestasi. Anak sekolah dengan harapan kelak bisa jago matematika atau sains, bisa menguasai teknologi, bisa punya banyak piala dan penghargaan dari prestasi ini itu. 

Alhasil, banyak yang lalu fokus pada hasil namun kurang memikirkan bagaimana kualitas proses anak dalam belajar. Anak-anak tidak diajari dan dibiasakan dengan nilai-nilai usaha dan ketekunan, serta kejujuran. Selain itu, sistem pendidikan yang diharapkan meningkatkan kemampuan kognitif anak, malah mengabaikan sistem pengapresiasian bagi mereka yang sudah bagus dalam berproses. 

Akhirnya yang terjadi, sering saya tahu berita kecurangan-kecurangan yang terjadi saat ujian. Caranya bermacam-macam, termasuk penggunaan teknologi canggih.

Sumber: hasil tangkap layar kompas dot com
Sumber: hasil tangkap layar kompas dot com

Cukup disayangkan melihat fenomena tersebut. Kalau menurut saya, anak-anak curang ini sebetulnya anak yang panjang akal. Cerdas! Juga menguasai teknologi canggih. 

Sayangnya, kecerdasannya malah digunakan untuk mengakali orang lain. Hingga saya pun berpikir, andai saja mereka menggunakan kecerdasannya untuk benar-benar berusaha menyiapkan diri saat ujian, kemungkinkan besar toh mereka akan lolos. Namun mereka justru memilih jalan pintas. Yang ada dalam benar mereka hanyalah tujuan lulus dan lolos saat ujian. 

Dengan minimnya pihak sekolah menekankan nilai integritas pada siswa dalam proses belaja mengajar, pada akhirnya membuat pendidikan bermutu untuk semua yang akhir-akhir ini digaungkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, justru mencetak manusia-manusia yang siap hadapi tantangan abad 21, namun dengan kualitas integritas yang rendah.

Manusia-manusia ini memang memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi, kemampuan berpikir kritis, menguasai teknologi, namun mereka juga berani curang demi keuntungan diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli, ada orang lain yang terengut haknya akibat ulah keegoisan mereka yang berani melakukan kecurangan.

Mempersiapkan Murid dengan Nilai Integritas untuk Siap Hadapi Tantangan Abad 21

Dari kasus yang diceritakan teman saya tersebut, saya pun berharap, pihak sekolah yang menjadi lingkungan ke dua setelah rumah bagi anak, bisa turut menjaga dan membudayakan nilai integritas atau budaya baik pada anak.

Beberapa nilai integritas itu antara lain kejujuran, tanggung jawab, berani mengungkap kebenaran, peduli terhadap sesama, serta berusaha atau bersungguh-sungguh dalam belajar. 

Anak-anak, apalagi di sekolah tingkat dasar, memang harus belajar bertanggung jawab untuk bersikap jujur. Ada, atau tidak ada guru yang mengawasi mereka.

Namun tentu saja, anak-anak ini tetap butuh pengawasan. Misalnya saat ujian, rasanya bukan hal yang pas jika guru malah pergi meninggalkan anak di kelas tanpa pengawasan. Atau, gurunya ada di kelas, tapi anak dibiarkan saling menyontek. Tanpa ditegur sedikit pun! Jika ada yang seperti itu, saya malah berpikir, di mana wibawa seorang guru sampai anak kok tidak punya takut untuk berlaku curang di depan gurunya?

Karena itu saya sepakat dengan ujaran seorang teman, guru yang berkualitas, seperti yang saya keluhkan tadi, malah akan membuat anak pintar jadi bermasalah. Anak rajin, malah kehilangan motivasi. 

Dan hal ini sungguh benar adanya. Anak pintar yang tahu celah kecurangan, justru menggunakan kepintarannya untuk mendapatkan keuntungan. Misalnya jual beli tugas atau PR yang dilakukan teman anak saya yang masih duduk di kelas 2 SD. Atau saat anak ini besar nantinya, dia bisa menjadikan kecerdasannya untuk menjadi joki ujian.

Sumber: hasil tangkap layar kompas dot com
Sumber: hasil tangkap layar kompas dot com

Sementara anak yang rajin, yang sudah berusaha payah belajar sebelum ujian namun nilainya kalah dengan anak yang curang, kemungkinan lama-lama bisa terpikir untuk ikut-ikutan curang. Ia sudah di titik kehilangan motivasinya.

Lantas bayangkan kondisi ini berlarut-larut. Mau jadi apa bangsa Indonesia di abad 21 yang sudah berjalan 24 tahun ini? Besar harapan saya, banyak pihak makin sadar, bahwa pendidikan bermutu untuk semua itu dapat menyentuh anak-anak yang sudah sekuat usaha memertahankan integritasnya. Jangan sampai anak-anak ini malah tersingkir oleh proses seleksi yang diisi kemenangan oleh mereka yang sudah melakukan kecurangan. 

Saya sangat sepakat dengan quotes dari Bapak Menteri Dikdasmen kita, Bapak Abdul Mu'ti. Yang terpenting adalah ilmu. Bukan kelulusan sebagai tujuan utama. Karena ketika kelulusan yang jadi titik fokusnya, siapapun bisa melakukan berbagai cara. Termasuk kecurangan!

Sumber foto: Instagram Kemendikdasmen
Sumber foto: Instagram Kemendikdasmen

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun