Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Memberikan Barang Bekas Harus Layak dan Pantas?

11 Juli 2025   12:12 Diperbarui: 12 Juli 2025   06:46 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan pakaian bekas di rumah. Sumber foto: dokumen pribadi 

Saat memberikan barang bekas pada orang lain, mungkin banyak dari kita yang langsung merasa puas karena sudah bisa bersedekah terhadap mereka yang membutuhkan.

Namun, pernah terpikir, ada orang-orang yang malah merasa sedih saat menerimanya? Pernahkan terpikir, ada orang-orang yang memaksakan senyum di depan kita, namun di belakang, ia merasa kesal atas pemberian yang diterimanya? 

Dua pertanyaan tadi bisa muncul karena sesungguhnya, kita sudah mengoper sampah pada orang lain.

Timbunan Barang Bekas Hasil Hibahan namun Menjadi Sampah

Kejadian ini sebetulnya saya alami sendiri. Jadi sudah beberapa tahun terakhir, banyak orang yang mengetahui perekonomian saya dan keluarga sedang tak lagi baik-baik saja. 

Mungkin karena kasihan, akhirnya saya dan keluarga pun sering mendapat barang-barang bekas pakai dari keluarga besar. Ada juga barang bekas dari teman suami. 

Kebanyakan berupa baju atau alas kaki bekas. Dan di sinilah cerita ini dimulai. Barang yang saya terima, lebih banyak berupa barang bekas tapi tidak layak pakai. 

Ada baju yang sudah sobek dan kalaupun anak-anak saya pakai, harus saya jahit terlebih dulu. 

Ada baju yang kena luntur atau kena noda. Kalau saya pakaikan ke anak-anak, saya harus ekstra kerja keras merendam dan mencucinya dulu dengan penghilang noda.

Ada sepatu yang sudah ada tulisannya atau sudah kumal. Sehingga kalau dipakai, harus dicat ulang dulu dengan pewarna sepatu.

Pernah saya menceritakan hal ini ke media sosial. Teman-teman saya banyak yang menyarankan untuk menjadikan lap atau keset saja. 

Masalahnya adalah, barang bekas hibahan yang tak layak pakai ini jumlahnya sampai sudah lebih dari tiga kantong kresek besar, lho! Tak mungkin kan saya menjadikan barang sebanyak itu untuk kain pel atau keset?

Mungkin ada yang berpikir, "Apa masalahnya sih? Kalau tak suka ya tinggal buang. Lagian kan memang situ orang yang kurang mampu?"

Nah, sekarang saya balik bertanya untuk siapapun yang berpikir demikian. Maukah menerima barang bekas tidak layak pakai, yang bahkan pemberinya sendiri pun tak mau menggunakannya lagi?

Etika Memberikan Barang Bekas

Mau kenal atau tidak, apalagi itu ke teman, saudara, atau keluarga sendiri, sesungguhnya ada etika yang harus disadari saat memberikan barang bekas pada orang lain.

1. Barang itu harus layak pakai

Tentunya yang dimaksud adalah barang yang semua orang bisa memakainya. Kalau bajunya sudah sobek, kancingnya hilang, bajunya kena noda, yang karena itu semua pemilik aslinya saja tak lagi mau memakainya, itu berarti sudah tidak layak pakai.

2. Sesuai kebutuhan penerima

Pernah saya membaca berita, ada korban bencana alam yang menerima baju bekas, tapi yang diterima adalah baju pesta.  

Jadi, berikan barang yang memang dibutuhkan orang lain karena dia memang membutuhkannya. Jangan seperti contoh di berita tadi. 

Iya sih, orang yang kena bencana alam memang butuh pakaian. Pakaian pesta juga termasuk pakaian. Tapi, apa iya korban bencana alam membutuhkan gaun pesta penuh gemerlap?

3. Tidak memaksa

Ada orang-orang yang berasal dari ekonomi sulit, tapi tidak membutuhkan pemberian dari orang lain. Bisa jadi, ia masih mampu mendapatkan barang layak. Masih bisa membelikan baju dan alas kaki yang kondisinya baik untuk anak-anaknya. Atau, bajunya juga sudah banyak karena dapat hibahan dari mana-mana.

Uniknya sering kali, ada orang-orang yang memberi, tapi memaksa. Alasannya, ada yang karena teringat dulu pernah sering diberi sehingga sekarang lah waktunya ia membalas budi. Ada yang merasa kasihan sehingga penerima pantas diberi apapun bentuknya. Ada yang merasa harus memberi karena biar bisa melakukan ibadah sedekah.

Apapun itu, seharusnya yang perlu diperhatikan, setiap orang berhak untuk menolak jika memang ia tidak mau dan tidak membutuhkannya. 

Orang dengan ekonomi sulit, tak berarti serta merta harus diberi, harus menerima, dan harus bersyukur saat diberi. Kondisi ini tak bisa dipaksakan.

Salurkan jadi Sedekah Barang Bekas

Dari pada mengoper barang bekas yang sebetulnya sampah apalagi pada keluarga sendiri, membuang begitu saja, atau membakarnya, lebih baik sedekahkan saja ke tempat penampungan barang bekas.

Saat ini di beberapa daerah, sudah ada penerima barang bekas yang mau menerima barang bekas dari mana saja. Ada beberapa catatan tentang barang bekas yang bisa kita limpahkan pada tempat-tempat tersebut.

1. Pilah pilih dulu, mana yang cacat dan mana yang masih layak pakai

Di beberapa tempat, kebanyakan penerima barang bekas akan menerima dengan dua kategori. Ada yang khusus menerima yang layak pakai, ada yang juga menerima tidak layak pakai.

Untuk yang layak pakai, syaratnya adalah tidak cacat seperti robek, kancing hilang, resleting tidak bisa dipakai, atau kena noda. Jadi kalau ada salah satu atau beberapa dari hal tersebut, berarti termasuk tidak layak pakai.

Yang tidak layak pakai inilah yang lalu masuk kategori sendiri. Ada yang juga menerima pakaian dalam, ada yang tidak. 

2. Kirim ke tempat penampungan baju bekas dan menanggung biaya pengiriman dan atau termasuk biaya pemrosesan

Biasanya, baju tidak layak pakai ini akan dicacah lewat sebuah mesin untuk didaur ulang. Karena itulah, beberapa dari penampung ini akan menerima barang tidak layak pakai namun dengan syarat, kita yang membayar ongkos kirim, atau sekaligus biaya daur ulangnya.

Ya, ada yang meminta kita membayarkan biaya daur ulangnya juga. Karena mereka juga butuh biaya operasional untuk membantu kita melakukan proses daur ulang.

Di sinilah masalahnya. Kerap orang yang saya beritahu perihal ini, memilih lebih baik membuang saja baju tak layak pakai ke tempat sampah atau membakarnya. Mereka keberatan bahkan untuk membayar biaya pengirimannya saja.

Tentunya, pilihan lain tersebut akan berdampak pada polusi lingkungan. Timbunan sampah kain makin bertambah di tempat pembuangan sampah akhir. Atau timbulnya polusi udara akibat sampah yang dibakar. Hal-hal seperti ini cukup disayangkan karena kerap diabaikan

Jadi jika kita mampu memiliki pakaian baru, seharusnya kita juga mampu membayar biaya pengiriman baju bekas ke tempat penampungan. Atau jika tidak, yuk, bijaklah untuk mengolah barang bekas pakai kita sendiri ya! 

Sampah pakaian kita adalah tanggung jawab kita. Bukan bahan untuk disedekahkan pada orang lain seperti teman, keluarga, atau saudara. Kecuali, memang kita menyedekahkannya pada tempat yang dapat mengelolanya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun