Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Maju, Adil, Merata, Tidak Korupsi Bukan Lagi Sekadar Slogan

5 Oktober 2025   17:56 Diperbarui: 5 Oktober 2025   19:47 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kalimat yang belakangan sering terdengar di berbagai podium:
"Maju, Adil, Merata, Tidak Korupsi."

Kalimat sederhana, empat kata yang tampak seperti slogan biasa. Tapi buat sebagian orang yang sudah cukup lama hidup di antara pidato, baliho, dan rapat koordinasi, empat kata itu terdengar agak berbeda. Ada semacam getar. Bukan karena baru, tapi karena seharusnya sudah lama kita sampai di sana.

Dua puluh lima tahun bukan waktu yang singkat bagi sebuah provinsi.
Sudah cukup banyak kepala daerah berganti, visi misi diperbarui, dokumen RPJMD disahkan, dan target-target indikator disusun sedemikian rapi. Tapi kalau kita mau jujur, yang sering berganti lebih cepat dari pemimpin adalah narasi besar tentang arah pembangunan itu sendiri.

Kita sering mendengar kata "maju" di tiap periode pemerintahan, tapi jarang sempat bertanya: maju untuk siapa?
Apakah kemajuan diukur dari seberapa tinggi gedung yang dibangun di utara, atau seberapa jauh anak di selatan bisa menempuh pendidikan tanpa harus pindah kota?

Kadang kemajuan diukur dari jumlah proyek yang selesai, bukan dari jumlah hidup yang membaik.

"Adil" dan "merata" juga dua kata yang sering berjalan beriringan di naskah sambutan, tapi jarang benar-benar berdampingan dalam kebijakan.
Adil itu soal keberanian menimbang tanpa takut kehilangan dukungan.
Merata itu soal memastikan yang jauh juga terjangkau.
Dan dua-duanya butuh pemimpin yang berani tidak populer.

Sebab pemerataan bukan perkara membagi proyek, tapi membagi kesempatan. Dan keadilan tidak akan pernah hadir di meja rapat yang sibuk memikirkan citra.

Lalu datanglah kata ketiga: tidak korupsi.
Sebuah pernyataan yang sederhana tapi terasa radikal di negeri yang sudah terbiasa dengan "asal bagian aman."

Menjadi tidak korupsi, dalam konteks birokrasi, bukan cuma soal menolak amplop. Tapi juga soal melawan sistem yang diam-diam menormalisasi kebiasaan salah. Mulai dari main mata dalam tender, sampai sekadar meminjam nama demi laporan kegiatan.
Korupsi, di banyak tempat, sudah lama menjadi bahasa yang tak tertulis tapi dipahami bersama.

Karena itu, ketika ada kepala daerah yang berani mengucapkan "tidak korupsi" dengan lantang di forum resmi, saya tidak ingin buru-buru sinis.
Barangkali, kita perlu memberinya ruang. Bukan ruang untuk memuji, namun ruang untuk membuktikan.

Yang menarik, keempat kata tadi: maju, adil, merata, tidak korupsi bukan hanya janji politis. Ia bisa menjadi arah moral jika benar-benar dijadikan kompas kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun