Nah, di birokrasi, kita butuh bek model begini:
- Pengingat. Saat kebijakan mulai keluar jalur, bek-lah yang bicara.
- Pengendali. Saat pejabat tergoda membuat program asal gemerlap, bek-lah yang rem.
- Penyelaras. Saat tim terpecah, bek-lah yang mengikat.
Sayangnya, dalam kultur birokrasi kita, orang sering diberi pilihan: diam atau dipinggirkan. Akibatnya banyak bek yang memilih bungkam. Padahal, kalau semua bek diam, gawang birokrasi bolong di mana-mana.
Isnan dalam Bek menunjukkan jalan lain. Ia tidak punya kemewahan untuk diam. Hidup memaksanya menjaga, berkorban, sekaligus memimpin keluarga dari belakang. Ia tetap bek, tapi bek yang bersuara.
"Lagi pula, saat itu, dibanding meyakini apa yang kuuraikan sendiri, aku lebih percaya bahwa menjadi bek adalah panggilan hidup bagiku. Semacam takdir," ujar Isnan dalam novel tersebut.
Takdir itu sama dengan tanggung jawab birokrat. Tidak bisa dilimpahkan, tidak bisa ditunda.
Bahaya Striker yang Tak Terkendali
Coba bayangkan: sebuah tim sepakbola yang isinya penuh striker. Semua ingin cetak gol. Semua ingin maju. Siapa yang menjaga belakang? Siapa yang rela bertahan?
Begitu pula birokrasi. Terlalu banyak pejabat yang sibuk berlomba jadi "pencetak gol": angka-angka spektakuler, program populis, pidato bombastis. Tapi kalau fondasi administrasi rapuh, pelayanan dasar bolong, siapa yang mau bertanggung jawab?
Bahaya lain: striker yang tak terkendali bisa merugikan timnya sendiri. Seperti birokrat yang terlalu sibuk tampil sehingga lupa: pelayanan publik itu bukan lomba popularitas, melainkan soal keberlanjutan.
Bahaya Bek yang Silent
Di sisi lain, kita juga tidak bisa berharap banyak pada bek yang pasif. Mereka ada, tapi hanya sebagai pelengkap barisan. Tidak ada inisiatif, tidak ada keberanian, tidak ada suara. Padahal bek yang sejati harus seperti tembok yang bukan hanya kokoh, tapi juga aktif mengatur.