Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Ketika ASN Harus Belajar Jadi Bek, Bukan Sekadar Striker: Belajar dari Isnan, dalam Novel "Bek"

22 September 2025   11:05 Diperbarui: 22 September 2025   11:05 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nah, di birokrasi, kita butuh bek model begini:

  • Pengingat. Saat kebijakan mulai keluar jalur, bek-lah yang bicara.
  • Pengendali. Saat pejabat tergoda membuat program asal gemerlap, bek-lah yang rem.
  • Penyelaras. Saat tim terpecah, bek-lah yang mengikat.

Sayangnya, dalam kultur birokrasi kita, orang sering diberi pilihan: diam atau dipinggirkan. Akibatnya banyak bek yang memilih bungkam. Padahal, kalau semua bek diam, gawang birokrasi bolong di mana-mana.

Isnan dalam Bek menunjukkan jalan lain. Ia tidak punya kemewahan untuk diam. Hidup memaksanya menjaga, berkorban, sekaligus memimpin keluarga dari belakang. Ia tetap bek, tapi bek yang bersuara.

"Lagi pula, saat itu, dibanding meyakini apa yang kuuraikan sendiri, aku lebih percaya bahwa menjadi bek adalah panggilan hidup bagiku. Semacam takdir," ujar Isnan dalam novel tersebut.

Takdir itu sama dengan tanggung jawab birokrat. Tidak bisa dilimpahkan, tidak bisa ditunda.

Bahaya Striker yang Tak Terkendali

Coba bayangkan: sebuah tim sepakbola yang isinya penuh striker. Semua ingin cetak gol. Semua ingin maju. Siapa yang menjaga belakang? Siapa yang rela bertahan?

Begitu pula birokrasi. Terlalu banyak pejabat yang sibuk berlomba jadi "pencetak gol": angka-angka spektakuler, program populis, pidato bombastis. Tapi kalau fondasi administrasi rapuh, pelayanan dasar bolong, siapa yang mau bertanggung jawab?

Bahaya lain: striker yang tak terkendali bisa merugikan timnya sendiri. Seperti birokrat yang terlalu sibuk tampil sehingga lupa: pelayanan publik itu bukan lomba popularitas, melainkan soal keberlanjutan.

Bahaya Bek yang Silent

Di sisi lain, kita juga tidak bisa berharap banyak pada bek yang pasif. Mereka ada, tapi hanya sebagai pelengkap barisan. Tidak ada inisiatif, tidak ada keberanian, tidak ada suara. Padahal bek yang sejati harus seperti tembok yang bukan hanya kokoh, tapi juga aktif mengatur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun