Dalam tulisan sebelumnya saya memakai metafora kucing dalam karung. Mari kita perpanjang sedikit.
Bayangkan jika si penjual karung bilang: "Tenang saja, isinya kucing kok. Kami sudah cek. Tapi karungnya tidak boleh dibuka ya, soalnya demi keamanan kucingnya."
Pembeli mana yang tidak curiga? Bukannya percaya, malah muncul pertanyaan: "Jangan-jangan bukan kucing, tapi tikus. Atau ular." Begitulah publik ketika akses informasi ditutup. Bukan rasa aman yang muncul, melainkan ketidakpercayaan.
Dan sekali kepercayaan itu runtuh, sulit sekali membangunnya kembali. Demokrasi tanpa kepercayaan hanya menyisakan sinisme. Kita datang ke TPS bukan untuk memilih, melainkan sekadar menjalankan kewajiban administratif, tanpa keyakinan apa pun terhadap hasilnya.
Belajar dari Negara Lain
Di banyak negara demokrasi, dokumen pencalonan pemimpin memang terbuka. Publik bisa mengakses riwayat pendidikan, harta kekayaan, bahkan catatan medis yang relevan. Mengapa? Karena prinsipnya sederhana: jabatan publik adalah kontrak antara rakyat dan pemimpinnya. Dan setiap kontrak harus jelas syarat-syaratnya sebelum ditandatangani.
Kalau di Indonesia kita malah sembunyi-sembunyi, pertanyaan retorisnya: kita ini sedang memilih pemimpin bangsa, atau sedang ikut arisan RT?
Jalan ke Depan
Maka, mari kita ajukan tiga tuntutan sederhana tapi mendasar:
1.KPU harus menetapkan standar keterbukaan: dokumen apa saja yang wajib diumumkan, bagaimana cara mengaksesnya, dan bagaimana publik bisa melakukan verifikasi. Tidak bisa lagi semua disapu dengan label "rahasia".
2.Perlindungan data pribadi tetap perlu, tapi berbasis pengecualian, bukan generalisasi. Jika ada informasi yang benar-benar berpotensi disalahgunakan (misalnya nomor induk kependudukan), itu bisa ditutup sebagian. Tapi jangan jadikan alasan itu untuk menutup keseluruhan dokumen.
3.Edukasi publik: transparansi hanya berguna kalau publik tahu cara menggunakan informasi itu secara kritis. Dokumen bukan sekadar formalitas, melainkan bahan bagi masyarakat untuk menilai kapasitas dan integritas calon.
Demokrasi memang tak pernah mudah. Tapi setidaknya, ia menuntut satu hal yang sederhana: keterbukaan. Transparansi bukan hadiah, melainkan hak warga negara.
Maka, jika ada yang masih ingin menyembunyikan dokumen penting dengan dalih apa pun, izinkan saya mengulang metafora yang sama: kita tidak sedang membeli kucing dalam karung. Kita sedang menentukan masa depan bangsa. Dan masa depan tidak boleh dijual dalam gelap.