Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Book

Cilor, Checkout, dan Cerita Perahu Kecil di Laut Mediterania

26 Agustus 2025   11:35 Diperbarui: 26 Agustus 2025   11:35 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Bagi saya, tragedi paling getir bisa jadi adalah... gagal checkout. Flash sale jam 12 siang, jempol sudah siap siaga, saldo sudah dihitung, eh servernya ngadat. Sial. Nasib bangsa rasanya langsung menurun sepuluh derajat hanya karena sandal murah meriah lepas dari keranjang. Ada juga yang lebih pahit: antre cilor, tinggal tiga tusuk, eh diembat anak SD depan mata. Kita pulang dengan luka yang tidak terlihat --- dan cerita heroik yang siap diposting di Instagram story.

Lalu saya membaca As Long as the Lemon Trees Grow. Novel karya Zoulfa Katouh ini ditulis begitu indah oleh seorang penulis muda asal Suriah-Kanada, yang bahkan usianya masih sebaya keponakan pertama saya. Isinya? Bukan soal checkout gagal, bukan soal cilor rebutan. Tapi tentang Salama, seorang mahasiswi farmasi di Suriah, yang mendadak harus jadi relawan medis sejak perang pecah pada 2011.

Bab-bab awal novel ini memanjakan dengan pilihan kata yang puitis. Namun menuju akhir halaman, saya nyaris kaku: bagaimana Salama harus melintasi puluhan perbatasan yang dijaga tentara bersenjata, bagaimana ia menyaksikan sahabatnya terbunuh, bagaimana ia terombang-ambing di laut Mediterania di atas perahu nelayan kecil yang kelebihan muatan, sebelum akhirnya tenggelam. Dan yang paling memukul: betapa sering "plot twist" datang --- bukan sekadar kejutan literer, tapi juga cermin dari kenyataan perang. Orang yang tadinya bersama bisa hilang begitu saja. Harapan yang tadinya nyala bisa padam dalam sekali dentuman.

Di titik ini, saya berhenti sejenak. Membaca kisah Salama membuat saya sesak. Bukan hanya karena gaya bahasa Zoulfa yang piawai, tapi karena saya sadar: di luar halaman novel, tragedi itu nyata. Suriah mungkin sudah tak lagi jadi headline tiap hari. Tapi di Gaza, Palestina, drama serupa berlangsung --- bahkan mungkin lebih brutal.

Di Gaza, setiap "checkout gagal" bukan soal sandal diskon, tapi soal bayi di inkubator yang listriknya padam. Setiap "cilor kehabisan" bukan soal camilan, tapi soal roti yang tak pernah sampai ke meja makan karena dapurnya hancur. Dan setiap "flash" yang muncul bukan notifikasi sale, tapi kilatan rudal di langit malam.

Ironisnya, kita di sini bisa marah karena sinyal hilang lima menit. Mereka di sana panik karena lima detik jeda bisa berarti hidup atau mati. Kita bisa sedih karena nggak kebagian tiket konser, sementara mereka bahkan tidak tahu apakah esok masih bisa bernapas.

Saya malu sendiri. Penulis semuda Zoulfa sudah bisa melahirkan karya masterpiece yang membuat dunia menoleh ke Suriah. Sementara saya, dengan segala privilege duduk nyaman membaca, hanya bisa mengeluh soal recehan. Tapi mungkin di situlah panggilannya: bukan semua orang harus menulis novel, bukan semua orang harus jadi relawan kemanusiaan di medan perang. Terkadang, panggilan terkecil kita adalah tidak menutup mata.

Membaca novel ini membuat saya percaya bahwa literasi bisa menjadi bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap lupa. Perlawanan terhadap rasa aman palsu bahwa tragedi itu "jauh di sana, bukan urusan kita." Perlawanan terhadap kenyataan bahwa berita kemanusiaan sering tenggelam oleh gosip selebriti.

Maka, bila kita masih bisa duduk tenang membaca buku, masih bisa mengeluh karena gagal checkout, barangkali tugas kita adalah sederhana tapi penting: menjaga agar cerita-cerita seperti Salama, dan suara-suara dari Gaza, tidak hilang ditelan headline baru. Kita mungkin tidak bisa menghentikan perang. Tapi kita bisa menolak untuk diam.

Karena, siapa tahu, suara kecil dari kita --- entah berupa tulisan, diskusi, atau sekadar menolak lupa --- bisa jadi bagian dari gema besar kemanusiaan. Dan itu jauh lebih bermakna daripada sekadar cerita heroik tentang cilor yang keburu habis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun