Setiap pagi kami masuk kantor dengan kepala berisi target, laporan, dan PR kebijakan. Tapi saat melihat siapa yang duduk di kursi pimpinan, kami sadar: kami harus bekerja dua kali lipat. Satu untuk pekerjaan kami, satu lagi untuk "menambal" ketidakmampuannya.
Kami tidak sedang nyinyir. Kami sedang lelah.
Kami yang Bingung, Dia yang Bingungin
Pernah suatu hari, di grup WhatsApp, kami sedang berdiskusi serius tentang strategi komunikasi. Kalimat demi kalimat mengalir dengan padat dan substansial, sampai tiba-tiba... muncul satu balasan:
"Saya kira itu bisa menjadi point of view yang kita kolaborasikan untuk maksimalisasi."
Hening.
Karena tidak ada yang mengerti maksudnya.
Bahasa Inggris setengah matang, padanan kata yang salah kaprah, dan kadang---serius ini---huruf F ditulis P, dan sebaliknya. "Pasilitas" jadi istilah rutin. "Pormulasi" sudah seperti menu harian. Entah dari mana referensinya, tapi kok ya pede sekali membagikannya.
Kami awalnya berpikir: "Ah, mungkin grogi." Tapi setelah berkali-kali terjadi, kami mulai menduga: ini bukan karena gugup. Ini murni karena memang... dia tidak paham.
Tapi Tetap Duduk Manis
Yang bikin kami makin heran: dia tetap tenang. Bahkan sangat nyaman. Tidak belajar. Tidak merasa perlu berubah. Tidak merasa malu. Karena toh... semua tetap berjalan.
Kursi jabatan tak membuatnya tertekan, justru membuatnya kalem. Karena setiap keputusan tinggal bertanya ke staf, lalu ditulis ulang dengan redaksi asal-asalan. Habis perkara.