Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gusdur dan Penghargaan atas Kemampuan Kaum Difabel

22 Desember 2020   17:17 Diperbarui: 22 Desember 2020   17:32 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi (Dep.Kominfo, 2005) via docplayer.info/user/71691711

Ternyata, menjadi seorang difabel bukan berarti tidak memiliki kemampuan. Gusdur telah membuktikan itu. Karena itu memang tidaklah tepat mereka digelari kaum disabilitas (tidak mampu). Kenyataannya mereka pun memiliki kemampuan, hanya saja kecakapannya tidak sama dengan manusia pada umumnya.

Kisah-kisah yang menunjukkan kemampuan kaum difabel ini ternyata bisa ditemukan dalam banyak cerita para tokoh-tokoh penting di dunia.  Salah satu cerita itu, adalah kisah penguji disertasi dari Prof Quraisy Shihab yang juga tuna netra. Cerita ini saya pernah dengar dari Anre Gurutta Sanusi Baco. Ternyata satu-satunya penguji Prof Quraisy Shihab yang bisa menemukan setitik kesalahan dari tulisan pada disertasinya yang nyaris sempurna, adalah dia yang penyandang difabel itu.

Tokoh-tokoh difabel yang sukses menginspirasi dunia selain Gusdur, sejatinya juga banyak. Deretan tokoh itu misalnya adalah Thomas Alva Edison (Penemu lampu yang ternyata disleksia), Stephen Hawking, Nick Vujicic (Penginjil & Motivator ternama dari Australia), Frida Kahlo (seniman terkenal tahun 1900-an), Marlee Matlin (artis cantik tuna rungu) dan Stevie Wonder (penyanyi legendaris tuna netra).

Kemampuan para kaum difabel ini harus diletakkan dalam penghargaan yang layak. Mereka tidak bisa disisihkan dari dunia. Mereka punya kemampuan  sangat layak yang bisa digunakan memecahkan beberapa persoalan pelik. Mereka bisa menjadi penemu penting seperti Edison, intelektual jenius macam Hawking, atau seniman hebat laiknya Frida Kahlo.

Sering kali kaum difabel ini terpuruk, hanya karena kita tidak bisa menggali dan menempatkan kemampuannya secara tepat.  Sampai di sini saya teringat film Taare Zameen Par. Film ini dibintangi oleh Aamir Khan dan Darsheel Safary. Film ini bercerita tentang seorang anak penderita disleksia. 

Pada awalnya baik orang tua maupun si anak sendiri dirundung frustrasi, karena yang bersangkutan kesulitan dalam belajar. Ternyata ia menderita disleksia dan tidak menemukan penanganan yang tepat. Tidak ada yang berhasil mendorong kemampuannya keluar. 

Sampai kemudian ia dibimbing oleh guru yang mengerti soal disleksia ini. Dengan ketepatan pendekatan, khususnya dengan menempatkan si anak sebagai manusia yang setara dengan lainnya,  kemampuan sesungguhnya yang jenius pun keluar. Si anak itu pun terlahir kembali menjadi pelukis yang hebat.

Menghargai mereka yang sepintas memiliki kekurangan secara fisik di banding kita, adalah keharusan. Sebab selalu saja ada kelebihan di tengah keterbatasan itu. Mungkin mereka terbatas secara fisik, tetapi hatinya bisa sangat jembar, seluas samudera. Matanya mungkin bisa buta, tetapi hatinya melihat dengan terang.  Maka sungguh sulit diterima akal sehat, jika ada orang yang mencaci seorang tuna netra: "buta mata, buta hati."

sudah tayang di blamakassar.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun