Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Etnografi yang Tidak Melupakan

8 Desember 2020   10:49 Diperbarui: 9 April 2021   16:26 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu masa di penghujung 2004.  Saat matahari mulai rembang petang, saya bersama Bissu Saidi pimpinan bissu Segeri Pangkep kala itu, tiba di sebuah rumah seorang tokoh adat. Ketika itu saya sedang penelitian. Tentu maksud kedatangan saya di rumah itu, bukan lain, ingin mewawancarai si tokoh adat.

Sampailah saya di rumah panggungnya yang terlihat mulai doyong ke kiri. Kami duduk di ruang tamu. Melantai. Di ruang tamu itu tak terlihat sebiji kursi atau pun meja. Rumah yang betul-betul bersahaja, padahal yang punya adalah seorang tokoh adat. 

Tak berselang lama, tokoh adat itu muncul menemui kami. Penampilannya sangat sederhana. Kemeja putih dan sarung yang mulai lusuh. Di atas kepalanya menclok kopiah yang warna hitamnya mulai memudar.

Mulanya senyap. Tidak ada yang angkat bicara. Namun apa yang terjadi kemudian, betul-betul saya tidak pernah sangka. Tidak lama saya duduk di ruang tamu ketua adat ini, tak ada angin-tak ada hujan, ia tiba-tiba menggebrak lantai papan tempat kami duduk.   Tentu saja saya kaget tak ketulungan. Saya memandang ke Bissu Saidi, saya ingin bertanya: "Ada apa? "Apa salah dan dosaku ini?" Tetapi Bissu Saidi memberi isyarat untuk diam.

Setelah menggebrak meja, sang informan yang merupakan laki-laki setengah baya ini, mulai marah-marah dalam bahasa Bugis. Lamat-lamat saya menangkap ucapannya. Katanya:  "Untuk apa ke sini?" "Apa yang kau cari di rumah ini?"  "Kalian hanya datang mengganggu para arwah nenek moyang yang menjaga sureq (naskah) yang telah kami simpan dengan rapi."

Saya masih dicengkau suasana. Bissu Saidi juga masih diam. Tetapi setelah beberapa jurus kemudian, sesekali Saidi mulai menimpali. Dan suatu ketika, dalam perkiraan yang matang atau mungkin juga karena wangsit,  Saidi pun balas menggedor lantai rumah. Perlahan ucapan-ucapan keras laki-laki berkopiah lusuh ini mulai menurun. Malah kini ia bicara dalam bahasa Bugis, kadang dicampur dengan bahasa Indonesia, dengan nada getir.

Dia menjelaskan kondisi dia sebagai pemilik naskah yang sering didatangi oleh para pemburu naskah dan peneliti. Menurut ceritanya, para pencari naskah itu terlihat penuh perhatian pada saat datang mencari naskah, berempati padanya, bahkan di antara mereka ada yang berjanji untuk memperbaiki rumahnya karena dianggap sebagai  salah satu tempat penyimpangan naskah.

Sayangnya setelah naskah mereka salin, penelitian telah usai, janji tak pernah ditunaikan. Si peneliti pun tak kujung datang. Jangankan memperbaiki rumahnya yang telah doyong itu, bahkan para peneliti dan pencari naskah itu terasa telah menjadi orang asing. Jauh tak terjangkau. Mereka telah menjadi orang hebat. Meraih gelar tinggi. Jadi pejabat.  Presentasi di dunia-dunia asing. Dan tak sekalipun kembali menyapanya. Padahal dulunya bagai kerabat dekat, seperti sanak kadang dan handai tolan yang rapat.  

Mendengar cerita getir lelaki setengah baya ini, lamat-lama saya ingat cerita seorang rektor Perguruan Tinggi termuka di Indonesia. Cerita tersebut saya baca di salah satu tulisan di media online. Konon, rumah orang tua si rektor ini pernah ditempati oleh salah satu antropolog dan indonesianis terkemuka. Ketika itu, si antropolog tersebut sedang meneliti di Indonesia.

Pada suatu ketika anaknya (rektor yang menceritakan kisah ini ) akan melanjutkan studi ke luar negeri. Bapaknya lantas teringat bahwa dulu pernah tinggal seorang peneliti asing di rumahnya dan mereka sangat akrab. Dalam benak si bapak rektor ini, meyakini, peneliti tersebut pasti mengingat dirinya. Karena itu dia menitip oleh-oleh ke anaknya untuk si peneliti asing tersebut. Sepasang wayang kulit. Maka diboyonglah wayang kulit ini ke Amerika, tempat si anak akan melanjutkan studi.

Singkat cerita dia ketemu dengan si peneliti terkemuka itu. Lalu dijelaskanlah siapa dirinya. Tetapi dia sedikit kaget karena si peneliti tersebut menyambutnya dengan dingin. Bahkan dalam pandangan si anak, si peneliti tersebut seakan-akan tidak mengenal ayahnya.  Ketika oleh-oleh ayahnya dia serahkan, ada kesan tidak senang dari sang peneliti kawakan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun