Mohon tunggu...
Syamsurijal Ijhal Thamaona
Syamsurijal Ijhal Thamaona Mohon Tunggu... Penulis - Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Subaltern Harus Melawan Meski Lewat Tulisan Entah Esok dengan Gerakan Fb : Syamsurijal Ad'han

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tawa Guru Dollah

26 November 2018   16:32 Diperbarui: 26 November 2018   16:58 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok: macaritablog.wordpress.com

Sejak semalam perut guru Dollah memang belum terisi nasi. Ia hanya sempat makan ketela pohon, sementara nasi yang sepiring Ia harus relakan pada anak semata wayangnya yang  menangis. Anaknya yang mungil itu masih ingin makan. Sebelumnya anak yang berusia empat tahun itu telah makan bersama ibunya, tapi mereka hanya makan sepiring berdua.  Guru Dollah tidak tega mendengar tangisan anaknya, apalagi mata anaknya yang bulat berair itu tidak lepas menatap sepiring nasi, jatah untuk dirinya.  Di rumah guru Dollah, beras memang telah menipis.  Istrinya berusaha memasak hemat, agar beras yang ada bisa bertahan sampai akhir bulan.

Gaji guru Dollah yang ia terima pada awal bulan, tidak cukup untuk membeli beras yang banyak.   Guru Dollah cuma guru honorer, gajinya  bisa bertahan empat hari belaka.  Setelah membayar kontrakan dan beli beras, gajinya langsung lindang pupus.   Pada masa itu jangan dikira mudah untuk mencari pekerjaan tambahan,  dan walau ada,  guru Dollah belum tentu mau.

Pernah suatu saat Ia ikut menggarap kebun tetangganya, tapi begitu Ia ingat bahwa di kelas murid-muridnya pasti sedang menunggunya, tanpa berkata-kata ia langsung meninggalkan ladang itu. Ia bahkan lupa kembali ke rumahnya saking terburu-burunya berangkat ke sekolah. Ia baru sadar setelah tiba di sekolah murid-muridnya menunjuk kakinya yang berlumpur dan pakaiannya yang kotor. Sambil ketawa dengan tawanya yang khas, guru Dollah buru-buru pulang, mengganti pakaian dan segera balik lagi ke kelasnya.  Kepada yang punya kebun, guru Dollah akhirnya minta untuk berhenti kerja. Ia berhenti tanpa diberi upah sesen pun, soalnya Ia memang bekerja belum genap sehari. Tapi ia hanya tertawa dengan tawanya yang khas.

Sejak itu ia tidak mau lagi cari kerja sambilan. Bagi guru Dollah mengajar sudah menjadi bagian dari jiwanya. Sehari saja ia tidak mengajar di kelas, rasanya ada yang kurang. Makanya meski ia mengajar dari pagi sampai siang dengan mata pelajaran yang berganti-ganti ia tetap senang.  Selalu ia tertawa dengan tawanya yang khas.  Bila muridnya paham pelajaran yang diajarkan, guru Dollah ketawa. Kala muridnya tidak paham, ia tetap ketawa. Bahkan jika ada muridnya yang tertidur saat pelajaran sedang berlangsung, guru Dollah tetap tertawa.  Malamnya saat tiba di rumah, guru Dollah segera akan memeriksa dengan tekun setumpuk tugas yang telah dikerjakan oleh muridnya. Jika menemukan tugas itu terjawab dengan benar semua, guru Dollah ketawa dan bila jawabannya juga salah semua, guru Dollah tetap tertawa.  Tidak keras, tapi seluruh parasnya terlihat tertawa.  Tarikan pipi, mata yang menyipit dan gusi hitam yang utuh terlihat .  Sebentuk tawa yang sempurna.  

images-5-5bfbbd2d43322f4b546a6923.jpeg
images-5-5bfbbd2d43322f4b546a6923.jpeg
Menjelang siang, perut guru Dollah semakin melilit. Beberapa kali perutnya terdengar berbunyi kruyuk..kruyuk... minta untuk diisi. Tapi guru Dollah tetap mengajar, sesekali terdengar ia tertawa.  Setelah pelajaran usai, guru Dollah pun meninggalkan kelas, berjalan pulang ke rumahnya.  

Demikian guru Dollah berada di jalan berbatu, matahari yang menyengat segera menyiram tubuhnya. Disengat panasnya matahari di kala perut keroncongan melilit, bukan hal yang menyenangkan. Guru Dollah  mulai merasa pening.  Pandangan mulai berkunang-kunang, tapi ia tetap melangkah pulang menuju rumahnya.  Sebentar Ia berhenti, matanya singgah di warung pinggir jalan. Ia berpikir untuk membeli segelas air mineral untuk mengganjal perutnya. Tangannya merogoh kantong di bajunya. Kosong..! Pindah ke kantong celananya..., juga kosong. Tiba-tiba guru Dollah ketawa. Tawa yang sempurna. Ia baru ingat sejak beberapa hari ia tidak memiliki uang sesen pun. Lalu ia melanjutkan langkahnya, berjalan sambil membayangkan sepiring nasi di rumah.  Kalau tidak ada, biarlah segelas teh hangat dan ketela rebus. Mungkin itu cukup untuk mengganjal perutnya hari ini.

Guru Dollah tiba di rumahnya disambut seorang tamu. Ketua RT.

"Wah...kebetulan guru Dollah telah datang." Sambut ketua RT dengan gembira.

"Eh..iya pak, silakan duduk dulu pak, saya ke dalam sebentar menyimpan tugas dari anak-anak."  

"Wah...tidak biasanya pak RT datang siang-siang ke rumah saya. Ada sesuatu yang penting pak?" Tanya guru Dollah setelah kembali menemui ketua RT yang duduk menunggu di serambi rumahnya

"Iya benar pak. Urusan ini bisa dibilang penting, apalagi bagi seorang pendidik seperti pak Dollah." Kata pak RT memulai penjelasannya.  "Pak Dollah mungkin sudah pernah dengar program pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional kita?" Lanjut Pak RT bernada tanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun