Gadget, Anak dan Libur Pesantren: Kekhawatiran Orang Tua di Era Digital
Kegembiraan yang Disertai Kecemasan
Setiap kali musim liburan tiba, para orang tua santri tentu menyambut anak-anak mereka dengan peluk hangat. Setelah berbulan-bulan menuntut ilmu di pesantren, kini saatnya anak kembali ke rumah. Namun di balik kebahagiaan itu, ada satu kekhawatiran yang diam-diam mengusik hati: gadget.
Bukan tanpa sebab. Di pesantren, anak-anak terbiasa hidup tanpa ponsel pintar. Jadwal mereka padat dengan kegiatan belajar, mengaji, salat berjamaah, dan aktivitas sosial yang minim intervensi digital. Namun, ketika kembali ke rumah, mereka bertemu kembali dengan “teman lama” bernama gawai, lengkap dengan koneksi internet 24 jam.
Antara Kebutuhan dan Kecanduan
Gadget, tentu saja, bukan barang haram. Bahkan, banyak hal positif bisa diakses melalui perangkat kecil ini: belajar online, komunikasi dengan guru, membaca kitab digital, atau menonton ceramah agama.
Tapi masalah muncul ketika penggunaan tak terkontrol. Beberapa anak menjadi sulit diajak bicara, asyik di dunia virtual, begadang bermain game online, atau bahkan mengakses konten yang tidak layak.
Sebagai orang tua, tentu kita bertanya-tanya:
"Mengapa anak yang di pesantren begitu tertib, kini jadi susah diatur ketika di rumah?"
Rumah yang Tak Lagi Jadi Tempat Rehat Rohani
Libur mestinya jadi masa rehat sejenak dari rutinitas, tapi bukan berarti rehat total dari nilai-nilai yang sudah ditanamkan di pesantren. Ironisnya, banyak anak justru “rebound”, melampiaskan segala yang tertahan di pondok: nonton YouTube sampai dini hari, TikTok-an berjam-jam, hingga lupa waktu salat.
Ini membuat orang tua was-was:
- Apakah liburan akan merusak apa yang telah ditanam pesantren?
- Apakah gadget akan mencabut akar akhlak yang baru mulai tumbuh?
Ketika Gadget Jadi Pelarian
Dalam banyak kasus, anak yang kembali ke rumah merasa bebas—dan gadget adalah simbol kebebasan itu. Ia menjadi pelarian dari kejenuhan, tempat hiburan, bahkan media sosial untuk “mengumumkan” bahwa mereka kini kembali di dunia luar.
Namun kita tahu, dunia maya bukan tempat yang netral. Algoritma internet bekerja tanpa etika. Ia tak tahu mana anak santri dan mana bukan. Ia hanya menyajikan apa yang sering diklik, tak peduli apakah itu merusak atau mendidik.
Peran Orang Tua di Tengah Gempuran Digital
Inilah saatnya orang tua mengambil peran aktif, bukan hanya sebagai penyedia kuota, tapi juga penjaga nilai.
Apa yang bisa dilakukan?
- Batasi waktu penggunaan gadget. Libatkan anak dalam membuat aturan bersama agar tidak merasa dipaksa.
- Fasilitasi kegiatan offline. Misalnya mengajak mereka ikut pengajian, membantu kegiatan sosial, atau kerja bakti keluarga.
- Ajak berdiskusi santai. Jangan langsung melarang, tapi ajak anak ngobrol tentang apa yang mereka tonton atau mainkan.
- Berikan teladan. Orang tua yang juga sibuk main HP tak akan bisa menegur anaknya dengan wibawa.
- Sisipkan nilai pesantren di rumah. Jadwalkan ngaji bareng, shalat berjamaah, atau diskusi keislaman ringan.
Membangun Jembatan: Rumah sebagai Perpanjangan Pesantren
Liburan tak harus menjadi momen “libur dari nilai.” Justru ini saat terbaik untuk membuktikan bahwa pelajaran di pesantren bisa diterapkan di dunia nyata—di rumah, di lingkungan sekitar, dan di dunia digital.
Orang tua bisa berperan sebagai “guru ke-2” setelah pesantren. Sediakan waktu, ruang, dan perhatian. Jangan hanya mengeluh karena anak kecanduan gadget, tapi tidak menyediakan alternatif yang lebih menarik.
Refleksi: Bukan Menjauhkan, Tapi Mendekatkan
Gadget bukan musuh. Tapi jika tak diawasi, ia bisa menjadi pintu bagi konten yang merusak. Sebaliknya, jika diarahkan dengan bijak, ia bisa menjadi media dakwah, alat belajar, dan bahkan ladang pahala.
Saat anak kembali ke rumah dari pesantren, ia sebetulnya sedang membawa bekal rohani. Tugas orang tua adalah menjaga bekal itu tidak basi, tidak tercemar, dan tetap tumbuh menjadi karakter yang kuat.
Orang Tua, Jadilah Garda Terdepan
Jangan hanya berharap pada pesantren. Karena pendidikan tak pernah benar-benar “libur.”
Dan di tengah laju teknologi yang tak bisa dihentikan, rumah harus tetap menjadi benteng terakhir nilai-nilai kebaikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI