Ini membuat orang tua was-was:
- Apakah liburan akan merusak apa yang telah ditanam pesantren?
- Apakah gadget akan mencabut akar akhlak yang baru mulai tumbuh?
Ketika Gadget Jadi Pelarian
Dalam banyak kasus, anak yang kembali ke rumah merasa bebas—dan gadget adalah simbol kebebasan itu. Ia menjadi pelarian dari kejenuhan, tempat hiburan, bahkan media sosial untuk “mengumumkan” bahwa mereka kini kembali di dunia luar.
Namun kita tahu, dunia maya bukan tempat yang netral. Algoritma internet bekerja tanpa etika. Ia tak tahu mana anak santri dan mana bukan. Ia hanya menyajikan apa yang sering diklik, tak peduli apakah itu merusak atau mendidik.
Peran Orang Tua di Tengah Gempuran Digital
Inilah saatnya orang tua mengambil peran aktif, bukan hanya sebagai penyedia kuota, tapi juga penjaga nilai.
Apa yang bisa dilakukan?
- Batasi waktu penggunaan gadget. Libatkan anak dalam membuat aturan bersama agar tidak merasa dipaksa.
- Fasilitasi kegiatan offline. Misalnya mengajak mereka ikut pengajian, membantu kegiatan sosial, atau kerja bakti keluarga.
- Ajak berdiskusi santai. Jangan langsung melarang, tapi ajak anak ngobrol tentang apa yang mereka tonton atau mainkan.
- Berikan teladan. Orang tua yang juga sibuk main HP tak akan bisa menegur anaknya dengan wibawa.
- Sisipkan nilai pesantren di rumah. Jadwalkan ngaji bareng, shalat berjamaah, atau diskusi keislaman ringan.
Membangun Jembatan: Rumah sebagai Perpanjangan Pesantren
Liburan tak harus menjadi momen “libur dari nilai.” Justru ini saat terbaik untuk membuktikan bahwa pelajaran di pesantren bisa diterapkan di dunia nyata—di rumah, di lingkungan sekitar, dan di dunia digital.
Orang tua bisa berperan sebagai “guru ke-2” setelah pesantren. Sediakan waktu, ruang, dan perhatian. Jangan hanya mengeluh karena anak kecanduan gadget, tapi tidak menyediakan alternatif yang lebih menarik.
Refleksi: Bukan Menjauhkan, Tapi Mendekatkan