Sekitar dua bulan lalu ketika saya sedang menunaikan ibadah haji di Makkah, sahabat saya mengirim pesan singkat. "Sepanjang perjalanan ke Karanganyar, tiba-tiba air mataku mengalir deras ingat almarhum suami. Besok ulang tahun beliau. Doakan saya ya, Bu."
Membaca pesan ini, air mata saya ikut mengalir begitu saja. Bahkan hari ini ketika saya menulis ulang pesannya, mata saya kembali berkaca-kaca. Bagaimana tidak?
Dia sahabat saya. Usianya baru empat puluh lima ketika Allah menakdirkan dia menjadi single parent, dua tahun lalu. Suaminya meninggal mendadak karena serangan jantung. Kami; saudara, teman, tetangga, dan semuanya, sangat terkejut dengan kabar di pagi itu. Antara percaya dan tidak. Tetapi berita itu benar adanya.
Sejak saat itu, mulailah sahabat saya ini menjalani hari-hari dengan menjadi orang tua tunggal bagi ketiga putra-putrinya. Si sulung yang masih kuliah, si tengah yang baru menikmati masa SMA, dan si kecil satu-satunya lelaki masih duduk di bangku SD. Anak-anak yang sedang butuh-butuhnya kasih sayang seorang ayah. Kini ada yang hilang, sosok ayah yang mereka idolakan tak lagi ada. Suami yang menjadi sandaran telah pergi. Tapi bukankah hidup harus terus berjalan?
Bukan Semata Soal Finansial
Menjadi orang tua tunggal, terlebih bagi seorang perempuan, sering dikaitkan dengan masalah kondisi finansial atau ekonomi keluarga. Ini terjadi jika sebelumnya suami merupakan satu-satunya sumber pendapatan. Bagaimana dengan orang tua tunggal yang sanggup menopang keuangan keluarga? Apakah berarti mereka tidak menghadapi masalah?
Tentu tidak. Keluarga bukanlah melulu soal tercukupinya kebutuhan finansial. Keluarga juga membutuhkan sentuhan kasih sayang, rasa aman, dan bagi istri atau suami, memiliki fitrah yang harus disalurkan. Di sinilah kadang masalah justru lebih sulit karena bantuan pihak lain dalam hal ini tidak bisa diharapkan. Betapa banyak bantuan beasiswa untuk anak yatim tapi apakah sanggup menggantikan kehangatan seorang ayah? Betapa banyak bantuan ekonomi untuk kepala keluarga perempuan tapi adakah yang bisa menggantikan kasih sayang seorang suami?
Begitulah yang terjadi dengan sahabat saya ini. Secara ekonomi, tentu saja sahabat saya mengalami sedikit guncangan. Semula ada dua sumber pendapatan sekarang tinggal satu orang. Namun secara umum roda ekonomi tetap berjalan dengan baik. Sahabat saya ini guru PNS dan sudah mendapat tunjangan profesional, almarhum suaminya juga guru PNS sehingga masih mendapat pensiun. Rumah dan kendaraan sudah tersedia. Alhamdulillah, sampai saat ini boleh dibilang aman.
Akan tetapi, seperti pesan yang dikirimkan kepada saya itu. Airmatanya masih tetiba mengalir meski sudah dua tahun sang suami pergi. Tangis yang hadir pastilah muncul karena kerinduan yang amat sangat. Sebuah momen seperti ulang tahunnya akan membangkitkan kenangan lagi. Saya tahu betapa beratnya dia menghadapi masalah ini. Kerinduan yang tidak terbalas. Rasa cinta yang tetap menyala tapi tak bisa menyapa.
Di tahun pertama kepergian suaminya, beberapa kali dia didekati oleh teman kerjanya. Ada yang terang-terangan menghubungi sendiri, ada yang melalui orang lain. Ada yang sambil bercanda, ada yang serius. Di saat usianya masih cukup muda, kebutuhan akan kasih sayang seorang laki-laki pasti masih mendera. Tapi saya tahu prinsipnya. Dia tidak sembarangan menerima laki-laki lain sebagai pengganti almarhum suaminya.
"Memangnya ada laki-laki yang lebih baik dari almarhum?" jawabnya ketika ditanya oleh seseorang mengapa dia menolak beberapa laki-laki yang mencoba mendekatinya. Saya sepakat dengan jawabannya. Almarhum suaminya adalah sosok suami dan ayah yang baik. Meninggal di pagi hari setelah malamnya tahajud, paginya salat subuh ke masjid dilanjut duduk di majelis pengajian. Jalan-jalan sebentar lalu ajal menjemput. Sebuah akhir hidup yang cukup menjadi bukti bagaimana baiknya sang suami.Â