Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rindu di Utara Formosa

26 Maret 2020   21:10 Diperbarui: 26 Maret 2020   21:13 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh; Iin Indriyani

Ini bukan membahas tentang cinta. Bukan semata tentang rasa. Bukan pula dorongan dilema hati yang menyiksa. Tapi tentang keputusan hati yang berlandaskan iman dan takwa. 

Kita diajarkan untuk adil dalam memilih keputusan. Kita diajarkan untuk menyeimbangkan antara habbluminallah dan habbluminnaas. Kita belajar tegas tanpa egois. Kita belajar memaknai cinta tanpa memandang untuk siapa. 

Manusiakah? Binatangkah? Tumbuhankah? Seberapa bersih diri kita hingga hati begitu hitam dengan kesombongan. Seberapa suci jasad kita hingga hobi mengoleksi keburukan orang lain. 

Pernahkah kita berdiri di depan cermin dan menatap lekat wajah kita. Jangan lama-lama, satu menit saja. Apakah masih sanggup kita tersenyum di depan wajah kita sendiri yang amat berlumur dosa?

***

Malam ini langit teduh. Pohon-pohon bergoyang gemulai nampak bertasbih kepada Rabi Semesta Alam. Semilir angin mengiringi langkah kakiku di depan rumah kawan baikku di negeri ini, Formosa. Seplastik ayam goreng lengkap dengan teh merah dingin telah berada di genggaman tanganku. 

Kugoyangkan plastik makanan itu seirama dengan langkah kakiku. Seketika sisa senyum di bibirku terhenti. Aku menatap ke arah langit yang cerah tanpa bintang. Hatiku tersayat oleh bayangan seseorang. 

Seseorang yang lima hari terakhir ini telah membuatku merasa kehilangan. Amat kehilangan. Sedang apa dia sekarang? Sehatkah? Sudah makankah? Apa ia bisa tertidur pulas dalam kecekaman nan jauh di sana?

Aku menunduk sedih. Gumpalan bening siaga di sudut mataku. Aku duduk di samping kanan jalan dengan lemah. Ya, lemah sekali. Terjatuh bagai debu yang terhempas tiada arti. 

Kembali kutatap langit yang masih tenang dengan kecerahan tanpa bintangnya. Wajah fotogenik itu kembali menyeruak di ingatanku. Kecerahan langit seketika padam, sirna. Kalah oleh kerinduan hatiku saat itu.

"Ingat kawan, perempuan yang kau cintai mungkin bisa meninggalkanmu. Tetapi saudara tidak akan pernah meninggalkan saudaranya dalam keadaan seperti apa pun. Aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu dalam kondisi seburuk apa pun. Aku akan merawatmu sampai kamu sembuh. Asalkan satu, kamu ada niat untuk berubah." 

Sebuah pesan singkat kukirim di kontak Line miliknya. Dia membalas dengan menyebut asma Allah beserta dua stiker menangis sebagai balasan. Di akhir chatt itu terselip sebuah kalimat, "Terima kasih atas kepedulianmu." Aku tersenyum kecil. 

Kupikir ikhtiarku untuk menariknya dari pergaulan bebas mulai menampakkan hasil. Kupikir seberapa keras batu di hatinya pasti akan meleleh dengan dorongan kata-kata yang positive. 

Semua itu kulakukan karena aku yakin. Aku yakin di hatinya yang keras masih ada iman yang begitu kuat. Masih ada kesadaran bahwa dia hamba Allah. Masih ada celah agar ia bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarganya.

"Mulai dari nol. Tinggalkan semua kebiasaan burukmu. Tinggalkan teman-temanmu. Untuk berubah kau butuh hijrah. Kau harus meninggalkan mereka yang selama ini kau ikuti kemana pun mereka pergi. Ikutlah denganku di sini. Aku akan merawatmu sampai kamu sembuh. Aku janji, aku tidak akan mengikatmu dengan alasan apa pun. Aku hanya ingin kamu sembuh dan mulai dari nol lagi untuk bekerja sebaik mungkin." Ratapku padanya.

Aku mendapat jatah menjenguk tepat jam 2 siang. Bersama Mas Yogi, sahabat baiknya, aku masuk ke dalam gedung tinggi yang berada di atas bukit Sanxia. Gedung yang ditakuti oleh semua TKI swasta. 

Satu persatu barang bawaan kami diperiksa. Aku melihat sekitar delapan orang berpakaian yang sama keluar dari lantai atas. Mataku tak sengaja menangkap salah seorang yang melambaikan tangan ke arah kami. 

Hatiku bergetar, aku tak berani menengok ke arahnya. Hanya Mas Yogi yang merespon sapaan bahagia darinya. Ya, dialah pemuda yang sepekan ini aku tangisi kelenyapannya. 

Dialah teman baik yang telah menjadi sahabatku sebelum ia tertangkap. Dia pemuda yang selama tiga tahun ini mengais rezeki sembari kejar-kejaran dengan para polisi. 

Dia yang sudah kabur dari pekerjaan legalnya karena ketidakadilan yang ia terima. Inilah Formosa, tidak semua dari kami mendapatkan keadilan yang sama, hingga jalan pintas yang penuh resiko pun kami tempuh tanpa ragu.

Setelah menyerahkan Id Card dan No.Hp, kami duduk di depan sahabatku yang sudah menunggu kami dari balik kaca. Aku meminta Mas Yogi untuk bicara di urutan pertama, sedang aku menyaksikan pertemuan dua sahabat itu dengan linang airmata. Aku sangat tahu bahwa sahabatku sangat merindukan Mas Yogi, sahabat baiknya selama ini. 

Raut wajahnya menyembunyikan banyak kegalauan, sorot matanya menyembunyikan banyak kesedihan, tapi satu yang membuatku salut kepadanya, dia berusaha bersikap tegar. 

Pelan-pelan aku mengintip wajahnya dari belakang Mas Yogi, wajah yang dulu suka aku pandangi saat kami video call sepanjang malam. Wajah itu sangat berbeda. Kali ini sangat bersih. Tubuhnya pun terlihat segar. Jujur, aku sangat senang melihatnya. 

Sekitar lima belas menit, Mas Yogi mempersilahkan aku untuk bicara dengannya. Kami bertukar tempat duduk dan dapat kulihat dengan jelas wajah tampan dengan mata sipit yang selalu temaniku dalam dua bulan terakhir ini. 

Mata itu, mata sipit itu sungkan untuk menatapku. Dia hanya bicara dengan nada suara pelan sembari menunduk, terkadang mengalihkan pandangan kesana kemari. Sementara aku, aku sudah bisa mengontrol hatiku untuk tidak mengeluarkan airmata di depannya.

"Apa kabar?" Dia memulai pembicaraan kami dengan pandangan menunduk, senyum tipis keluar dari bibirnya. Manis sekali.

"Alhamdulillah, baik."

"Datang dengan siapa?"

"Mas Andi. Dia menunggu di luar. Apa sudah ada kabar kapan akan pulang?"

"Belum. Kemungkinan masih lama. Baru juga tiga minggu."

"Sabar. Jangan tinggalin sholat, ya."

"Iya. Tadi baru sholat dzuhur."

Basa-basi. Ya, itu yang terjadi dalam percakapan kami siang itu. Entah mengapa, aku sendiri bingung apa yang ingin aku katakan. Melihat sorot matanya yang bersembunyi dari tatapanku, aku tak punya keberanian untuk bicara lebih dalam. 

Aku tidak mau airmata yang dia tahan terjatuh di depanku. Aku paling tidak bisa melihat kesedihan di wajahnya. Aku ingin dia selalu tersenyum, bahagia. 

Lima belas menit berlalu begitu cepat kurasakan. Sikap salah tingkah kami berakhir dengan suara bel yang berdering di samping meja polisi. Aku keluar dari ruangan. 

Hatiku memberontak untuk kembali menatapnya. Bahkan mungkin untuk yang terakhir kalinya sebelum aku pulang. Dia tersenyum lepas kepadaku sembari melambaikan tangannya. 

Sangat manis sekali. Aku membalasnya tak kalah manis. Dan setelah itu, kami berpisah dan tak dapat saling menatap lagi hingga detik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun