Monyet Ekor Panjang (MEP) dan beruk kini menghadapi tekanan ganda, diperlakukan sebagai subjek konservasi sekaligus komoditas dalam jaringan perdagangan dan eksploitasi budaya. Esai ini mengurai mekanisme perdagangan legal dan ilegal, eksploitasi dalam pertunjukan dan pemeliharaan, serta konflik manusia macaca. Ditekankan pentingnya pendekatan multisektoral (One Health) dengan kebijakan transparan, edukasi masyarakat, dan penguatan regulasi.Â
Di Indonesia, MEP dan beruk tidak hanya sebagai wildlife icon, tetapi juga sebagai komoditas bernilai tinggi dalam pasar domestik dan internasional. Studi global menunjukkan nilai perdagangan hidup di antara primata termasuk long-tailed macaque  mencapai lebih dari USD 1,25 miliar dalam dekade terakhir, mencerminkan tekanan ekonomi yang besar pada populasi alamnya (Hansen et al., 2022). Bersamaan, budaya seperti "topeng monyet" dan bisnis hewan peliharaan memperkuat narasi bahwa monyet adalah objek hiburan, bukan makhluk memerlukan kesejahteraan dan perlindungan.
Secara global, perdagangan primata hidup termasuk MEP terus meningkat. Hansen et al. (2022) menyebut nilai sekitar USD 1,25 miliar antara 2010-2019, mengindikasikan skala niaga yang mengerikan. Di tingkat nasional, laporan "The Macaque Report: Indonesia" mengungkap pasar domestik yang berkembang untuk perdagangan, breeder, dan penggunaan MEP dalam hiburan, dengan dukungan kebijakan yang terkadang ambigu atau tidak konsisten. Di sisi lain, dokumen Non-Detriment Finding (NDF) CITES untuk Indonesia pada 2023 menunjukkan adanya kuota ekspor yang diberi izin namun laporan pelacakan asal-usul individu masih lemah dan rawan disalahgunakan.
Perdagangan Satwa Liar dan Dampaknya bagi MEPÂ
Perdagangan legal, seperti melalui fasilitas breeding atau untuk penelitian, memiliki potensi membantu konservasi melalui captive-breeding. Namun tanpa audit dan verifikasi, ia juga menciptakan peluang untuk laundering individu hasil tangkapan liar membuat penyelundupan tampak "legal" secara administratif. Menurut Hansen et al. (2022) memperingatkan adanya inkonsistensi dalam alat pelaporan dan potensi peralihan status populasi liar sebagai komoditas tersertifikasi.
Para aktor dalam sistem ini mencakup penjaga kebun, breeder, eksportir, dan perantara domestik yang mengeksploitasi celah peraturan. Selain itu, permintaan internasional terutama untuk penelitian biomedis memberikan dorongan ekonomi, sementara pasar turis domestik menyediakan permintaan untuk MEP sebagai "atraksi budaya". Studi Warne et al. (2023) menunjukkan betapa bisnis monyet untuk riset kadang menjadi front legal atas pengangkutan individu yang berasal dari alam liar. Akibatnya, populasi lokal kian terdesak. Penangkapan massal dan fragmentasi habitat merusak struktur sosial dan keberlanjutan populasi primata, menciptakan implikasi etis terhadap konservasi jangka panjang.
Mengapa Eksploitasi Hewan Primata Masih Terjadi?
Eksploitasi MEP tidak selalu bersifat sistemik, tetapi sering dilakukan secara individu atau kultural seperti "topeng monyet", pertunjukan keliling, MEP sebagai pekerja di tempat wisata, atau hewan peliharaan. The Macaque Report (2022) mencatat praktik pelatihan kasar, pembatasan ruang, bahkan penyiksaan sebagai bagian dari "hiburan berbasis budaya".
Risiko zoonosis merupakan aspek serius. Penelitian Patouillat et al. (2024) dalam tinjauan sistematis menemukan bahwa primata Asia termasuk MEP menjadi reservoir bagi banyak patogen zoonotik. Kontak intensif manusia--primata, khas dalam pertunjukan atau kepemilikan pribadi, memicu kemungkinan spillover yang berbahaya bagi kesehatan publik. Pendekatan One Health menekankan bahwa kesejahteraan hewan dan keamanan masyarakat tak dapat dipisahkan. Secara normatif, eksploitasi ini menimbulkan dilema moral: apakah satwa harus tetap digunakan demi budaya dan ekonomi atau dialihkan ke model konservasi yang lebih manusiawi dan berorientasi ekologi?
Konflik Manusia dan MEP: Ancaman atau Peluang?