Mohon tunggu...
RASHASHI IHSANI
RASHASHI IHSANI Mohon Tunggu... Penulis - Novelis, essais, penulis belasan antologi, juara 2 sayembara prosa dan essai nasional. Tinggal di pinggiran Jakarta

Novelis, essais, penulis belasan antologi, juara 2 sayembara prosa dan essai nasional. Tinggal di pinggiran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kaum Oposisi dan Ringkihnya Supremasi Hukum Kita

12 Desember 2020   21:17 Diperbarui: 12 Desember 2020   21:40 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KAUM OPOSISI DAN RINGKIHNYA SUPREMASI HUKUM

Peradaban manusia pada medio abad 20 telah menggerus martabat dan akal budi secara masif hingga menyeret moral kemanusiaan ke titik nadir terendah.
Sejatinya perang politik dan agama sejak lama memakan banyak korban akibat keganasan sifat tabiat dasar purba manusia yang menihilkan dorongan-dorongan superego mereka untuk melahirkan empati dan menjalani hidup dengan tancapan nilai-nilai moral yang diikat tradisi setempat.

Bahwa berbuat jahat, contohnya, akan menuai hasil yang kita tanam (perbuat). Insting kemanusiaan ini kemudian banyak dibutakan kemaruk nafsu sisi gelap diri kita yang memang dicengkeram dorongan-dorongan dasar jiwa yang cenderung menyimpang.

Tragedi berdarah-darah perang politik dan agama telah kenyang kita saksikan dalam catatan sejarah negara kita. Bahkan sejak sekolah dasar, warna sejarah kita selalu tentang perang antar anak bangsa karena politik dan agama, contoh DI/TII Karto Soewiryo-Kahar Muzakar dan Daud Beureuh, G30S PKI dan lainnya.
Makin kesini kita saksikan ada tragedi Sampang, perang Ambon, Poso dan banyak lagi.

Berita kematian 6 laskar FPI dengan cara inprosedural yang terjadi di KM 50 Tol Cikampek oleh pihak kepolisian RI praktis sekejap menjadi trending topik di teras berita manapun. Bahkan tragedi berdarah ini menjadi sorotan media-media luar berbahasa asing. Banyak narasi kabur warta berita dalam negeri yang membuat linglung banyak pihak atas kebenaran kasus ini yang sebenarnya.

Tak sedikit ucapan belasungkawa berdatangan kepada keluarga atau ormas yang berbadan hukum legal ini.
Banyak donasi tertuju pada keluarga korban penembakan, meski secara fakta kita saksikan tak ada ungkapan belasungkawa dari negara atau badan pemerintah manapun. Pemerintah menganggap bahwa yang meninggal ditembak mati adalah teroris, jadi tak perlu ucapan belasungkawa. Meski kita tak tahu sepak terjang yang diduga 'teroris' ini punya catatan kriminal apa di kepolisian.
Padahal takkan mengurangi rasa hormat warga jika kepala negara atau pejabat negara mengucapkan belasungkawa, apalagi yang meninggal adalah warga negara sendiri.
Lalu apa titik masalahnya? Adalah bahwa HRS melanggar protokol kesehatan di Petamburan. Dan untuk itu Polda metro melakukan pemanggilan, namun tak digubris karena menurut HRS sudah dibayarkan denda protokolnya.
Tapi itu belum selesai dan HRS harus datang, sehingga kasus polisi berseragam preman di Tol Cikampek dengan ending tragis, tembak mati, terjadi.
Padahal sebagai aparat yang digadang pengayom masyarakat harusnya Polri menempuh prosedur dengan UU yang mereka susun sendiri. Dan tak menghilangkan sisi kemanusiaan. Jangan karena oposisi, alih-alih menihilkan sisi kemanusiaan. Padahal toh pelanggaran protokol kesehatan selama masa kampanye pilkada lalu saja tercatat banyak namun tak ada proses hukum kepada pihak-pihak pelanggar.


Apalagi ditambah kesaksian-kesaksian keluarga korban ketika pemandian jenazah korban penembakan itu menemukan bukti-bukti fisik yang menggurat hati nurani. Ini meresahkan kita yang melihat kasus penembakan aparat di tol sangat brutal. Sehingga banyak pihak menyayangkan, alih-alih Komnas HAM hendak membentuk tim investigasi independen untuk olah TKP diikuti ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah. Diharapkan kesimpangsiuran narasumber Polri dan FPI pada akhirnya nanti bisa bertemu benang merahnya.

Apakah polri akan melakukan aksi serupa seperti penanganan laskar FPI ini ketika menangkap tersangka kasus-kasus korupsi? Tentu tidak bukan!? Apalagi ada kasus penghinaan presiden yang sangat tebang pilih. Warga biasa cepat diciduk, diproses. Tapi beda ketika warga non pribumi yang bukan sekedar menghina, tapi mengancam, dilepas tanpa tuntutan hukum apapun. Maka perlakuan seluruh warga negara sebagaimana tertuang di dalam UUD hendaknya sama di mata hukum. Agar stabilitas nasional terus terjaga dan pemerintah dihargai warganya karena percaya akan kebijakan dalam penerapan hukum.

Ini pameo klise di negeri kita, bahwa hukum selalu tajam ke bawah tumpul ke atas. Namun, kini hukum punya tuannya, kapan pun yang benar bisa jadi salah. Dan yang sudah salah dicari pembenarannya, seperti yang benar selalu dicari-cari kesalahannya. Ini sifat lain manusia.

Masih hangat kasus pembunuhan Siyono oleh Densus 88 karena pria baru terduga teroris ini ditembak mati memancing panasnya suhu dan gelombang protes dimana-mana. Tapi seperti kasus kekerasan ormas GMBI beberapa waktu lalu yang menyerang kelompok FPI, lagi-lagi menguap tanpa proses hukum.
Polri harus berbenah dan membina anggotanya agar juga tunduk pada UU meski sebagai penegak hukum dan punya kewenangan mereka memang berhak. Namun, bukan alih-alih bebas dan kebal hukum ketika aparat penegak hukum melawan hukum.

Di mata hukum negara kita, kaum oposisi seringkali mendapat perlakuan hukum yang timpang dan tebang pilih. Kasus ditangkapinya para aktivis dakwah yang oposisi terhadap pemerintah telah banyak tercatat. Dakwaan makar, penghinaan presiden, pejabat negara, atau tokoh-tokoh yang berpengaruh dan lain-lain menjadi delik hukum yang mudah diperkarakan. Tapi oposisi tidak bisa berbuat sebaliknya. Sementara beberapa kasus penistaan oleh oknum-oknum di ruang intelektual dan forum-forum Maya terkesan aman dan sarat pembiaran.

Bahkan yang sudah mengarah fisik, penyerangan aktivis, baik disiram air keras, diserang senjata tajam, dibunuh terkesan senyap dan tanpa kejelasan akhir nasib si korban. Akumulasi kasus-kasus kekerasan yang menimpa warga muslim (yang memang merupakan mayoritas penduduk negara), lebih luas ke warga yang oposisi tanpa kejelasan akhir putusan hukum bagi pelanggarnya. Ini yang membuat warga apatis, lelah dan enggan untuk mempercayai bahwa hukum negara itu sangat sakral dan netral. Tapi sebaliknya, warga tahu betapa rapuh dan ringkihnya pilar hukum di negeri kita.

Rasulullah Muhammad SAW sebagai peletak peradaban moral, telah begitu indah mencipta blue print struktur masyarakat Madinah yang berkeadilan dan bijaksana dalam hukum. Ia menerapkan sistem hukum yang memiliki supremasi kuat dalam tata hubungan sosial. Bahkan beliau sebagai kepala negara tak segan memotong tangan jika Fathimah Az-Zahra, putrinya mencuri. Ini konsep hukum berkeadilan yang tak ditemui di sistem bernegara manapun. Selalu ada permainan keberpihakan, hukum yang berpihak pada status quo lunak, sementara oposisi alot.

Hal itu tak berlaku dengan konsep Ahlu dzimmah dalam Islam. Begitu paripurnanya hukum (fiqih) islam, universal dan tak kenal nepotisme dalam berbagai aspek. Maka hak kewarganegaraan dalam negara Islam dijamin setara, tak ada dikotomi Islam atau Ahlu dzimmi. Kafir dzimmi dijaga darah, harta dan kehormatannya. Terjamin keamanan dan keselamatan lahir batinnya dalam naungan negara. Jika ada yang menyakiti Ahlu dzimmi, bahkan membunuh. Maka, akan diperlakukan hudud dan qishos meski pelakunya muslim dan korbannya golongan non muslim. 

Bahkan kaum Yahudi mendapat keadilan dan manfaat dari diterapkannya hukum Islam oleh Rasulullah Muhammad SAW dan hidup berdampingan dengan kedaulatan Piagam Madinah (Madinah Charter). Inilah yang membuat masyarakat Madinah menjadi percontohan masyarakat paling modern di zamannya.
Hingga sosiolog Barat, Robert N. Bellah menyanjung konsep bernegara Muhammad ( Madinah) dengan supremasi hukum yang kompeten, kompatibel dan kredibel.
Menurut Bellah, Piagam Madinah merupakan ''Konstitusi termodern di zamannya.''

Akhirnya, hukum yang adil memang bisa efektif menghentikan kejahatan dan ketakseimbangan sistem yang berjalan. Namun, ketika hukum dipermainkan, dijalankan dengan sistem tebang pillih dan mencederai sila ke 2 Pancasila; kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka, akan selalu ada pihak yang memperjuangkan aspirasi untuk adil bersikap dan transparan dalam mengungkap kasus sedetilnya hingga tak ada gelombang protes dan kecemasan massa yang sudah apatis dan muak.

Kematian 6 anggota FPI yang merupakan masih bagian dari warga negara yang sah secara administrasi negara, menjadi cermin buat semua pihak untuk sahaja ketika bertindak dan memutuskan meski dalam kondisi penuh ketertekanan. Utamakan cara-cara persuasif, bukan penuh represif. Kepada musuh saja kita harus adil, apalagi pada sesama anak bangsa dan seagama.

 Contohlah kehebatan 2 ksatria Perang Salib ; Richard the Lion Heart dan Sultan Saladdin (Salahuddin Al Ayyubi).
Dua-duanya disanjung, baik dalam literatur dan manuskrip sejarah kekristenan dan Islam. Sikap ksatria Salahuddin yang mengobati Raja Salib, Richard lalu ketika sembuh kembali mengajak berperang. "Aku mengobatimu karena itu perintah agama untuk menolong orang secara kemanusiaan, "tapi setelah sembuh" aku akan kembali memerangimu". Sejarah ini sangat mengagumkan pembaca sejarah perang Salib.

Kita tunggu perkembangan info kepolisian atas kasus ini dengan lapang dada, semoga terlihat titik terang dari semua kejanggalan peristiwa yang menohok banyak pihak ini.

Penulis adalah novelis, essais, penulis belasan antologi, juara 2 sayembara essai & prosa nasional. Penulis tinggal di pinggiran Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun