Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Drupadi

25 Agustus 2014   17:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:36 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408938619377352891

[caption id="attachment_339574" align="aligncenter" width="800" caption="Drupadi (sumber foto : www.startv.in)"][/caption]

Perempuan cantik bersari merah itu hanya bisa menjerit pilu kemudian menangis tersedu-sedu saat diseret seorang pria berangasan ke tengah-tengah balairung sebuah istana megah. Gelungnya terlepas, rambutnya yang panjang dan lebat terurai tak beraturan. Dahinya terluka akibat terhempat saat diseret kasar, darah merah mengalir. Satu hal, kecantikannya tak luntur dalam amarah dan rasa malu bak api yang membakar tubuhnya itu.

Drupadi, perempuan jelita yang tengah ditimpa petaka itu menatap nanar ke sekelilingnya. Masih tersimpuh ditengah balairung, Ia menatap tajam Dursasana, pria berangasan yang menyeretnya. Matanya memerah. Air mata sudah habis tumpah. Para kurawa tertawa tergelak penuh kemenangan. Sangkuni, tersenyum penuh kelicikan dan puas. Drestarata, maharaja yang buta juga menyunggingkan senyum. Bhisma, Widura, Resi Kripa dan Mahaguru Drona serta para tetua hanya bisa melihat dirinya dengan iba, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Ia lalu memandang nanar suaminya, lima Pandawa yang tengah tertunduk malu dan tak kuasa membalas pandangan istrinya. Tatapanya berhenti ke arah Yudhistira, suaminya yang begitu tega mempertaruhkan dirinya di meja judi sehingga kini dirinya menjadi budak dan dipermalukan di depan umum. Drupadi kemudian memandang Bhima yang perkasa namun kini hanyalah budak yang tak punya daya. Pandanganya lalu beralih ke Arjuna, ksatria perkasa, pemanah terbaik di dunia yang telah memenangkan diri dan hatinya, namun Arjuna pun sama, diam memendam malu dan amarah tanpa bisa berbuat untuk menyelamatkan dirinya. Nakula dan Sadewa juga bertingkah sama.

Drupadi, kini hanya bisa meratap. Seorang Pancali, putri Kerajaan Pancala, anak raja Drupada yang perkasa kini menjadi budak. Seorang putri yang lahir dari api dan memiliki lima suami ksatria terhebat di daratan Arya kini bahkan lebih rendah dari pelacur. Ia dipermalukan di muka umum, di depan lima suaminya yang perkasa-perkasa itu.

"Budak Drupadi, kesinilah, duduk di pahaku, duduk di pangkuanku, layani aku dan saudara-saudaraku.." ujar Duryudana congkak. Drupadi menatap tajam ke sumber suara. Acara mempermalukan dirinya berlanjut rupanya...

"Duryudana, kau sudah melewati batas. Aku bersumpah akan membunuhmu. Dengarkan sumpahku Duryudana...!," kata Bhima sambil menggereram dan menepuk dadanya. Tapi apalah sumpahnya itu, Ia kini hanya seorang budak setelah dipertaruhkan kakaknya di meja dadu. Duryudana juga hanya tersenyum mengejek mendengar sumpah Bhima. "Kau hanya seorang budak Bhima," begitu kata hatinya yang diisyaratkan dengan senyum ejekanya itu.

Bhisma yang agung, kali ini tak kuasa untuk menahan emosinya. Ia kemudian meminta kepada Raja Drestarata untuk membebaskan Drupadi. Bukankah Drupadi dipertaruhkan Yudhistira ketika sudah kalah dan menjadi budak, maka seorang budak sudah sepantasnya tak bisa mempertaruhkan sesuatu. Setelah Bhisma, Begitupula Mahamenteri Widura juga meminta kepada kakaknya itu untuk melepaskan Drupadi dan mengakhiri kebiadaban itu. Namun, Drestarata adalah Raja Buta mata dan buta hatinya.

"Drupadi adalah seorang budak, budak harus menuruti tuanya. Kalau aku membebaskan Drupadi maka aku memberlakukan ketidakadilan kepada seluruh budak di Hastinapura. Drupadi adalah budak Duryudana sekarang, maka dia harus menuruti perintah tuanya. Kembalilah Drupadi, turuti perintah tuanmu!," kata Drestarata.

Drupadi kini tak punya harapan. Kini, Ia hanyalah wanita lemah. Drupadi bak seekor domba tanpa pelindung ditengah sekumpulan srigala buas.

Arjuna, yang paling mencintai dan dicintai Drupadi tak kuasa menahan amarahnya. Ia merebut tameng prajurit dan dilemparkanya berputar ke penjuru ruangan. Segenap lampu di istana pun padam terkena sambaran tameng. Balairung diliputi kegelapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun