Transformasi perguruan tinggi (PT) di Indonesia menuju predikat Research University (Universitas Berbasis Riset) adalah ambisi krusial yang diusung oleh pemerintah. Tujuannya jelas, PT harus menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi, dan sumber daya manusia unggul yang mendorong daya saing bangsa dan pembangunan ekonomi.
Namun, mengkritisi langkah ini berarti harus meninjau kesenjangan besar antara idealisme predikat Research University global dengan realita struktural yang dihadapi PT di Indonesia.
 1. Kesenjangan Anggaran Riset: Bukti Keterbatasan Fiskal
Inti dari Research University adalah *riset berkesinambungan* yang memerlukan pendanaan masif. Dengan adanya alokasi Dana riset rendah dan ketergantungan pemerintah menjadi bukti nyata yang menyulitkan PT untuk melakukan *riset fundamental* jangka panjang yang mahal, sehingga PT cenderung memilih riset aplikatif jangka pendek yang lebih cepat mendapatkan hasil (publikasi) atau pendanaan.
2. Tantangan SDM: Beban Ganda Dosen dan Kelangkaan Doktor
Kualitas riset bergantung pada peneliti. Struktur SDM dosen di Indonesia belum sepenuhnya mendukung peran Research University.Dosen di Research University menghabiskan waktu primanya untuk riset, bimbingan mahasiswa pascasarjana, dan pengabdian, dengan beban mengajar yang minimal. Dengan dosen masih dibebani jam mengajar yang tinggi untuk memenuhi angka kredit dan operasional dan rendahnya rasio doktor di Indonesia yang dapat menghasilkan hasil research yang berkualitas. Menjadi alasan terbesar terhambatnya waktu research
3. Prioritas Kuantitas di Atas Kualitas dan Hilirisasi
Mendorong PT menjadi Research University seringkali diterjemahkan secara administratif sebagai keharusan memperbanyak publikasi internasional (Scopus/Web of Science).
Publikasi Self-Serving. Dorongan kuantitas publikasi menyebabkan dosen fokus pada riset yang cepat terbit (quick-win research) demi pemenuhan angka kredit atau syarat akreditasi, alih-alih pada riset yang memiliki *dampak sosial, ekonomi, atau ilmiah (indeks sitasi)* yang signifikan.
Lemahnya Hilirisasi Inovasi, bukti nyata menunjukkan adanya *kesenjangan besar* antara output riset (laporan, jurnal) dengan outcome (paten, komersialisasi, dan penyerapan industri). Banyak temuan dan paten yang dihasilkan PT tidak berhasil terkomersialisasi* atau diadopsi oleh dunia usaha. Hal ini menunjukkan bahwa riset masih berjalan di menara gading dan kurang relevan dengan kebutuhan pasar.
4. Peran Kebijakan: MBKM dan Riset
Kebijakan *Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)* merupakan langkah progresif yang bertujuan mendekatkan kampus dengan dunia usaha. Namun, implementasinya perlu dikritisi dalam konteks riset.Meskipun MBKM memungkinkan mahasiswa terlibat dalam proyek riset dosen, fokus utamanya adalah pengalaman kerja dan pembelajaran di luar prodi. Program ini belum sepenuhnya *terintegrasi secara eksplisit* untuk memperkuat ekosistem riset mendasar. Agar transformasi PT berhasil, kebijakan harus secara tegas *membebaskan dosen peneliti utama* dari beban mengajar demi fokus pada riset dan transfer pengetahuan.
Kesimpulannya:
Transformasi PT menjadi Research University adalah aspirasi yang harus didukung, tetapi memerlukan pendekatan yang pragmatis dan pembiayaan yang memadai. Tanpa peningkatan substansial pada dana R&D nasional, reformasi pada struktur kesejahteraan dan beban kerja dosen, serta pergeseran fokus dari kuantitas publikasi ke kualitas dampak dan hilirisasi paten, predikat Research University di Indonesia hanya akan menjadi formalitas administratif tanpa menghasilkan inovasi yang mampu mendorong Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI