Mohon tunggu...
Ifah Latifah
Ifah Latifah Mohon Tunggu... Guru

Penulis buku antologi Guru Profesional (Laikesa: 2020). Antologi Jawaban dari Tuhan (Dd Publishing:2020). Antologi Mengedukasi Negeri (Madani Kreatif: 2020) Guru Limited Edition ( Pustaka Literasi : 2021) Puisi 1000 penggiat Literasi judul Indonesia bangkit(Geliat gemilang abad i: 2021) Nak sungguh aku mencintaimu ( Little Soleil : 2021)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Fenomenal Kang Dedi: Disiplin Ala Militer, Harapan atau Ancaman Psikologis?

18 Mei 2025   12:00 Diperbarui: 18 Mei 2025   12:19 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan fenomenal dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang akrab disapa Kang Dedi, tengah menjadi sorotan publik. Gagasan berani mengirim anak-anak "nakal" ke barak militer menuai beragam reaksi. Ada yang memberikan dukungan penuh, menganggapnya sebagai terobosan tegas di tengah krisis moral remaja. Namun, tak sedikit pula yang menilai kebijakan ini terlalu ekstrem dan perlu dievaluasi kembali.

Langkah ini tergolong belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Sebuah gebrakan yang kontroversial namun inovatif. Menariknya, banyak orang tua justru menyambut program ini dengan tangan terbuka. Bagi sebagian dari mereka, mengurus anak yang sudah terlanjur sulit diatur menjadi beban yang berat. Maka, barak militer bukan hanya jadi tempat pembinaan, tapi juga secercah harapan... apalagi jika biayanya gratis.

Istilah "anak nakal" berasal dari bahasa asing juvenile delinquency. Namun, ini tidaklah sama dengan kenakalan yang dimaksud kitab undang-undang dalam Pasal 489 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kata juvenile berarti anak-anak atau remaja, yaitu masa perkembangan dengan ciri-ciri khas tertentu. Sementara itu, delinquency berarti melakukan kesalahan atau tindakan yang menyimpang, dan kemudian berkembang maknanya menjadi perilaku jahat, asosial, kriminal, pelanggaran terhadap aturan, pembuat keributan, pengacau, atau pelaku teror.

Badan Peradilan di Amerika Serikat pertama kali menggunakan istilah anak nakal dalam upaya merumuskan undang-undang sistem peradilan khusus untuk anak-anak di negara tersebut. Dalam perkembangannya, terdapat dua pandangan: satu pihak menyoroti aspek pelanggaran hukumnya, sedangkan pihak lain lebih menekankan apakah tindakan anak tersebut sudah menyimpang dari norma yang berlaku, meskipun belum melanggar hukum secara langsung. Walau demikian, kedua pandangan tersebut sepakat bahwa inti dari pengertian "anak nakal" adalah perilaku atau tindakan yang bersifat antisosial.

Sebagai seorang guru SD yang bergelut di dunia pendidikan dan terbiasa berinteraksi langsung dengan berbagai karakter anak dari latar belakang ekonomi hingga pola asuh keluarga yang beragam, saya memahami, perilaku menyimpang pada anak kerap kali berakar dari pola asuh yang kurang tepat di rumah atau pengaruh lingkungan sosial yang negatif. Memang, kasus kenakalan berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak usia sekolah dasar. Namun, bukan berarti hal semacam itu tidak pernah terjadi. Untuk menyelesaikan persoalan ini  di butuhkan pendekatan yang lebih humanis, tidak memerlukan sentuhan militeristik. Justru, pendekatan berbasis kasih sayang, perhatian, dan pemahaman menjadi kunci utama dalam membina dan mengarahkan anak-anak di usia ini..

Setiap penanganan anak tentu tidak selalu sama tergantung tingkat kenakalan yang dilakukan.Tentu berbeda dengan penanganan anak yang masih duduk di bangku SD dengan siswa yang duduk di bangku SMP dan SMA. Di butuhkan analisis yang tepat untuk membuat satu keputusan yang menyatakan anak tersebut termasuk kategori anak nakal analisis ini bisa dibantu oleh tenaga ahli seperti Psikiater.

Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Kesehatan (kemkes.go.id), terdapat sekitar 2,2 juta remaja di Indonesia yang telah terpapar narkoba, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan. Ironisnya, dalam situasi seperti ini, dunia Pendidikan terutama para guru kerap menjadi pihak yang disalahkan. Padahal, guru memiliki keterbatasan dalam menerapkan pengajaran maupun menegakkan kedisiplinan. Tidak sedikit kasus yang muncul, ketika upaya pemberian disiplin justru menjadi bumerang bagi guru, bahkan hingga berujung pada jeruji besi.

Dalam konteks ini, kebijakan mengirim siswa yang berperilaku menyimpang ke barak militer saya nilai sebagai sebuah inovasi yang patut dipertimbangkan, tentu dengan catatan: Jenis Pembinaanya berbeda dengan prajurit yang disiapkan untuk bertempur dimedan perang, melainkan sebagai tempat pembinaan yang menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dan kepatuhan terhadap aturan. Perlu dipahami bahwa guru tidak mungkin bekerja sendirian dalam membentuk karakter peserta didik. Sebelum mengenyam pendidikan formal di sekolah, anak-anak telah lebih dulu dibentuk oleh pola asuh keluarga dan lingkungan sekitar. Merombak kebiasaan buruk yang sudah mengakar tentu bukanlah hal yang mudah. Seperti pepatah lama mengatakan, "dari kecil teranja-anja, sudah besar terbawa-bawa" yang artinya, kebiasaan yang dibentuk sejak usia dini cenderung terbawa hingga dewasa. Oleh karena itu, pola asuh yang keliru dan lingkungan yang negatif dapat meninggalkan jejak karakter yang sulit diubah di masa depan.

Guru akan berhadapan dengan macam ragam anak dikelasnya. Tidak semua anak yang diajak bicara lemah lembut akan segera menurut. Ada anak yang tidak mengindahkan perkataan guru walaupun sudah berkali-kali disampaikan. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu anak tersebut kurang menyukai pendekatan yang dilakukan oleh guru, atau anak tersebut merupakan anak yang kurang mendapat kasih sayang dirumah sehingga selalu ingin diperhatikan disekolah dengan cara membuat onar hanya demi kepuasan diri. Jangankan nasehat dari guru hukuman saja mungkin sudah tidak lagi berefek karena sudah terbiasa dengan suara bentakan dan hukuman fisik dirumah sehingga nasehat guru hanya dianggap angin lalu.

"Kalau sudah begini mau diapakan?

Menurut saya, kebijakan mengirim anak yang berperilaku menyimpang ke barak militer merupakan langkah solutif yang patut diapresiasi, tentu dengan pelaksanaan yang penuh kehati-hatian dan pertimbangan matang. Kebijakan ini tidak ditujukan untuk semua anak, melainkan untuk mereka yang telah melakukan tindakan yang tergolong di luar batas kewajaran, seperti terlibat dalam penyalahgunaan narkoba atau tawuran yang mengarah kepada kebrutalan dan menggunakan sajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun