Tak bisa dipungkiri, gaya kepemimpinan yang cepat dan langsung memberikan kesan responsif. Namun, responsif tidak boleh berakhir menjadi reaktif. Demokrasi dipenuhi oleh dinamika, oleh perdebatan sehat, dan oleh proses yang menumbuhkan kepercayaan bersama.
Demokrasi yang sehat tidak bertumpu pada pesona satu tokoh, melainkan pada tata kelola yang partisipatif, transparan, dan berbasis institusi. Dalam sistem politik yang menjunjung prinsip keterbukaan, keputusan publik semestinya melalui proses deliberatif, bukan sekadar diumumkan secara top-down.
Partisipasi legislatif tidak boleh direduksi menjadi formalitas. Lembaga perwakilan harus dilibatkan secara aktif sejak awal proses perumusan kebijakan, sebagai manifestasi prinsip check and balances dalam pemerintahan. Kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak layak dirancang secara tertutup, apalagi tanpa masukan dari kalangan ahli maupun masyarakat sipil.
Tata kelola yang kredibel menuntut kehadiran forum publik yang terbuka. Konsultasi warga, dengar pendapat komunitas, hingga kajian akademis mesti dijadikan rujukan utama, bukan pelengkap administratif. Transparansi data dan argumentasi kebijakan bukan sekadar tuntutan etis, melainkan keharusan demokratis yang tak bisa ditawar.
Ketika ruang diskusi disempitkan dan proses dilewati secara sepihak, yang lahir bukan kebijakan publik, melainkan kehendak individu yang dibungkus euforia semu. Demokrasi seperti ini rapuh, mudah digoyang, dan rawan kehilangan legitimasi.
Figur dapat menginspirasi, tetapi sistemlah yang menjaga demokrasi tetap bernyawa.
Sebagaimana diingatkan oleh Haru Suandharu:
"Keberhasilan hanya akan tercapai bila gubernur mampu mengedepankan kolaborasi, transparansi, dan komunikasi dua arah dengan seluruh pemangku kepentingan"
Tugas kita bukan mengecam cepat atau lambatnya kebijakan, tapi memastikan bagaimana kebijakan itu dibuat. Apakah sebagai produk dari dialog demokratis, atau sekadar refleksi popularitas semu dan kekuasaan terpusat?
Jika gaya "one man show" terus mendominasi, bukan hanya demokrasi lokal yang terancam, tetapi juga hak warga untuk dilibatkan dalam kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka. Pada titik itu, yang dibangun bukan masyarakat berbasis partisipasi, melainkan narasi kekuasaan yang dibungkus daya tarik visual tanpa esensi demokrasi sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI