Mohon tunggu...
ifahlatifah
ifahlatifah Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi meluapkan isi kepala melalui tulisan dan konten di instagram

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dedi Mulyadi dan Gaya Kepemimpinan One Man Show: Menantang Demokrasi Partisipatif?

12 Juni 2025   11:00 Diperbarui: 12 Juni 2025   11:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kang dedi mulyadi channel

Dalam 100 hari pertama menjabat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi langsung tampil dengan gaya kepemimpinan yang penuh warna: tegas, cepat, dan sangat personal. Ia meluncurkan kebijakan kontroversial, mulai dari pelarangan study tour dan wisuda, pengiriman siswa "nakal" ke barak militer, hingga wacana KB vasektomi bagi penerima bansos yang disampaikan secara langsung lewat media sosial pribadinya. Namun, gaya "lone wolf governance"-nya menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini keberanian reformis, atau justru tanda melemahnya demokrasi partisipatif di daerah?

Fenomena ini diperkuat oleh kritik dari berbagai pihak. Menurut Kristian Widya Wicaksono, pakar kebijakan publik dari Universitas Parahyangan (Unpar), gaya kepemimpinan Dedi terlalu dominan, bahkan hingga menutupi peran wakil gubernurnya, Erwan Setiawan:

"Dalam beberapa pekan kepemimpinan beliau, saya merasakan bahwa peran Wagub kurang nampak... perlu pembagian tugas yang jelas... sehingga nampak sinergitas kepemimpinan keduanya"

Pola semacam ini mencerminkan apa yang oleh ilmuwan politik disebut sebagai "one man show governance" di mana kekuasaan terpusat di satu figur, mengabaikan proses kelembagaan dan diskursus publik.

Kritik lain datang dari Haru Suandharu, Ketua DPW PKS Jawa Barat, yang menyoroti bahaya pendekatan semacam ini terhadap sistem demokrasi lokal:

"One man show itu kalau sekarang dampaknya belum terasa. Tapi ke depan, itu akan menimbulkan kesulitan besar. Itu bahaya... kebijakan semestinya tetap dikaji mendalam... jangan hanya demi mendapat aplaus dari netizen"

Kritik ini merujuk langsung pada sejumlah kebijakan kontroversial Dedi---termasuk larangan kegiatan sekolah, pendidikan militer untuk pelajar, dan wacana vasektomi. Haru menegaskan bahwa pengambilan keputusan publik harus melibatkan DPRD, ahli, dan daratan masyarakat---bukan hanya diterbitkan lewat pergub dan diumumkan di medsos.

Apa yang Hilang dari Demokrasi Lokal?

Dalam demokrasi modern, keberhasilan pemerintahan bukan hanya ditentukan oleh kecepatan atau efektivitas pengambilan keputusan, tetapi oleh proses deliberasi, transparansi, dan check and balances. Rahasia dari demokrasi sehat adalah melibatkan berbagai pemangku kepentingan---legislatif, pakar, dan masyarakat sipil---sekaligus menjaga agar kebijakan didasarkan riset dan pertimbangan matang

Kini, publik Jawa Barat tengah menyaksikan dua kutub gaya kepemimpinan: di satu sisi, popularitas visual lewat video dokumentasi dan narasi tegas ala influencer; di sisi lain, kekhawatiran atas melemahnya mekanisme institusional dan ruang partisipatif.

Menuju Tata Kelola yang Bermakna

Tak bisa dipungkiri, gaya kepemimpinan yang cepat dan langsung memberikan kesan responsif. Namun, responsif tidak boleh berakhir menjadi reaktif. Demokrasi dipenuhi oleh dinamika, oleh perdebatan sehat, dan oleh proses yang menumbuhkan kepercayaan bersama.

Demokrasi yang sehat tidak bertumpu pada pesona satu tokoh, melainkan pada tata kelola yang partisipatif, transparan, dan berbasis institusi. Dalam sistem politik yang menjunjung prinsip keterbukaan, keputusan publik semestinya melalui proses deliberatif, bukan sekadar diumumkan secara top-down.

Partisipasi legislatif tidak boleh direduksi menjadi formalitas. Lembaga perwakilan harus dilibatkan secara aktif sejak awal proses perumusan kebijakan, sebagai manifestasi prinsip check and balances dalam pemerintahan. Kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak layak dirancang secara tertutup, apalagi tanpa masukan dari kalangan ahli maupun masyarakat sipil.

Tata kelola yang kredibel menuntut kehadiran forum publik yang terbuka. Konsultasi warga, dengar pendapat komunitas, hingga kajian akademis mesti dijadikan rujukan utama, bukan pelengkap administratif. Transparansi data dan argumentasi kebijakan bukan sekadar tuntutan etis, melainkan keharusan demokratis yang tak bisa ditawar.

Ketika ruang diskusi disempitkan dan proses dilewati secara sepihak, yang lahir bukan kebijakan publik, melainkan kehendak individu yang dibungkus euforia semu. Demokrasi seperti ini rapuh, mudah digoyang, dan rawan kehilangan legitimasi.

Figur dapat menginspirasi, tetapi sistemlah yang menjaga demokrasi tetap bernyawa.

Sebagaimana diingatkan oleh Haru Suandharu:

"Keberhasilan hanya akan tercapai bila gubernur mampu mengedepankan kolaborasi, transparansi, dan komunikasi dua arah dengan seluruh pemangku kepentingan"

Tugas kita bukan mengecam cepat atau lambatnya kebijakan, tapi memastikan bagaimana kebijakan itu dibuat. Apakah sebagai produk dari dialog demokratis, atau sekadar refleksi popularitas semu dan kekuasaan terpusat?

Jika gaya "one man show" terus mendominasi, bukan hanya demokrasi lokal yang terancam, tetapi juga hak warga untuk dilibatkan dalam kebijakan yang menyangkut kehidupan mereka. Pada titik itu, yang dibangun bukan masyarakat berbasis partisipasi, melainkan narasi kekuasaan yang dibungkus daya tarik visual tanpa esensi demokrasi sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun