Aku selalu merasa ketakutan. Takut akan kemungkinan harapanku tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Sepanjang masa menunggu itu, kau membawaku masuk ke dalam duniamu. Ketakutanku semakin menjadi-jadi, Ann.
Ann, ternyata benar. Apa yang ku takutkan terjadi. Kau tidak memberiku kabar hari itu. Sepanjang hari aku menunggumu. Sejujurnya, aku kecewa kepadamu. Kau hanya memberiku selembar kertas. Seolah seperti itulah perasaanmu kepadaku.
Sementara pada kenyataan hari itu, kau menamparku, memintaku sadar. Mungkin ini kesalahanku. Aku tidak pernah menyiapkan kemungkinan saat kau tidak membalas perasaan yang sama. Aku menjadi lelaki paling cerewet, Ann. Aku butuh banyak teman bicara. Hingga aku sadar satu hal.
"Bukan patah hati yang akan membuat seseorang mati. Namun, cinta yang terlalu besar yang tak bisa ia kendalikan."
Semenjak hari itu aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Aku menenangkan hatiku berkali-kali. Menata semua yang sempat tidak terkendali. Sebab, aku percaya, jika nanti kau memang untukku, selama apapun waktu, akhirnya kau akan denganku juga.
"Kamu tak usah mengikuti kegilaanku. Jika kamu lelah, kamu boleh istirahat. Aku akan terus menungguimu. Bukankah cinta harusnya seperti itu. Saling menguatkan saat satu di antara kita mulai lemah. Bukan meninggalkan dan mencari yang baru. Paling tidak, masih ada langit yang tidak pernah meninggalkan kita".