Profesi guru kerap disebut sebagai panggilan mulia. Namun, di tengah realita kesejahteraan yang belum berpihak, banyak sarjana pendidikan kini beralih ke jalur non-formal. Laporan terbaru fresh graduate mengungkap alasan utama mengapa lulusan fakultas keguruan lebih memilih menjadi guru les dibandingkan mengajar di sekolah formal. Data yang dihimpun fresh graduate menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer di berbagai daerah hanya berkisar Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan. Bandingkan sama UMR yang jauh lebih tinggi! Padahal kerjaannya berat banget: ngajar puluhan siswa, bikin rencana pelajaran, dan masih banyak administrasi.
“Beban kerja kami berat, tapi gaji tidak sebanding. Saya pernah hanya dibayar Rp600 ribu per bulan padahal harus mengajar lebih dari 25 jam seminggu, kerja keras banget tapi gaji segitu, rasanya nggak dihargai.” kata Sidik (23), lulusan pendidikan matematika di Cirebon.
Guru Les Dinilai Lebih Menjanjikan
Berbeda dengan sekolah formal, profesi guru les privat menawarkan penghasilan yang relatif lebih besar. Dengan tarif Rp75 ribu hingga Rp150 ribu per pertemuan per siswa, seorang guru bisa meraih penghasilan jutaan rupiah setiap bulan, bahkan hanya dengan mengajar beberapa jam sehari. Selain itu, jadwal yang fleksibel memungkinkan sarjana pendidikan untuk membagi waktu antara pekerjaan, kegiatan pribadi, hingga rencana studi lanjut tidak ada tekanan administrasi, hanya fokus mengajar.
"Saya seminggu bisa ngajar les sampai 5 kali seminggu, Saya bisa atur waktu sendiri. Dan itu bisa mendapat 1 juta lebih, dengan 4-5 siswa yang saya ajar. Tapi kalau kuhitung, gaji ngeles seminggu lebih banyak ketimbang jadi tenaga honorer sebulan.” ujar Ita (24), guru les bahasa Inggris di Cirebon.
Administrasi Jadi Beban Tambahan
Masalah administrasi guru ini memang jadi momok terbesar guru masa kini. Dikutip dari detikEdu, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan dan Pendidikan Guru, Iman Zanaetul Heri menyatakan bahwa platform pendidikan dan pembelajaran jadi masalah untuk semua yang terlibat dalam proses pendikan, dari guru hingga siswa. Beban administrasi jadi bertambah semenjak kemunculan platform-platform tersebut.
Bukan hanya soal gaji, laporan fresh graduate menyoroti tekanan administratif di sekolah formal. Guru dituntut untuk membuat RPP, menyusun laporan evaluasi, hingga menghadiri rapat rutin. Kondisi ini sering kali menyita waktu dan energi, membuat guru kehilangan fokus pada esensi mengajar.
“Di sekolah, saya merasa lebih banyak menulis laporan daripada benar-benar mengajar,” ungkap Dina (24), lulusan pendidikan biologi.
Tren Pasar Pendidikan
Fenomena ini juga didorong oleh tingginya permintaan pasar. Les privat dan bimbingan belajar kini dianggap sebagai kebutuhan tambahan, terutama di kalangan orang tua yang ingin anaknya lebih siap menghadapi ujian. Lembaga bimbel besar pun terus berkembang, menyerap tenaga sarjana pendidikan dalam jumlah signifikan.
Menurut catatan fresh graduate, setidaknya 40% fresh graduate pendidikan di beberapa kota besar lebih memilih bekerja di sektor bimbingan belajar dibanding sekolah formal.
Alarm bagi Dunia Pendidikan
Pergeseran ini memunculkan pertanyaan serius: jika semakin banyak sarjana pendidikan memilih jalur non-formal, bagaimana nasib sekolah formal yang masih kekurangan tenaga pendidik? Pemerintah harus serius dong buat ningkatin kesejahteraan guru honorer supaya profesi ini jadi pilihan yang menarik lagi.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Dr. Wahyu Santoso, menilai tren ini sebagai alarm. “Jika tidak ada perbaikan kesejahteraan dan beban kerja guru, sekolah formal akan semakin ditinggalkan. Negara harus hadir untuk menjamin profesi guru dihargai, baik secara finansial maupun profesional".
Fenomena sarjana pendidikan yang beralih ke guru les bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan bentuk adaptasi terhadap sistem yang tidak adil. Laporan fresh graduate menegaskan bahwa tanpa perubahan kebijakan yang konkret, ruang kelas di sekolah formal akan terus kekurangan guru, sementara bimbel dan les privat kian menjadi primadona.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI