Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lebaran dan Budaya Aji Mumpung

2 Juli 2017   23:56 Diperbarui: 3 Juli 2017   10:32 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Mikhael Gewati/kompas.com

Masa lebaran sudah usai. Walau demikian, ada catatan menarik yang bisa diangkat. Salah satunya adalah budaya aji mumpung, baik yang dilakukan oleh produsen atau pun konsumen. Mentalitas konsumtif dan triliunan uang yang beredar pada saat arus mudik dan lebaran menjadi sarana yang mendukung budaya tersebut.

Produsen aji mumpung dengan cara menaikkan harga menjelang bulan Ramadan dan puncaknya menjelang lebaran. Untuk menutupi kenaikan harga tersebut, para pedagang, utamanya pengusaha mal menggunakan strategi diskon, sale, potongan harga, beli dua gratis satu, bonus hadiah, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar konsumen terpikat dan tidak keberatan dengan mengeluarkan harga yang lebih mahal.

Menjelang Ramadan, harga barang dan jasa naik dengan dalih sudah menjadi "hukum pasar" karena pemintaan konsumen tinggi sedangkan persediaan barang dan jasa terbatas. Stok kebutuhan pokok mendadak hilang di pasaran. Para spekulan atau penimbun meraup keuntungan besar dengan di atas penderitaan konsumen.

Pun demikian ketika menjelang lebaran. Produsen bisa dengan bebas menaikkan harga barang dan jasa meski secara normatif pemerintah sudah melakukan inspeksi mendadak (sidak), operasi pasar, menetapkan batas maksimal tarif transportasi, menyediakan posko pengaduan konsumen, serta mengancam memberikan sanksi bagi yang melanggar, dan sebagainya.

Banyak terjadi kenaikan harga barang dan jasa secara sewenang-wenang oleh produsen barang dan jasa. Kadang terjadi perdebatan dan percekcokan antara konsumen dengan pedagang atau penyedia layanan barang dan jasa, tetapi konsumen seolah berada dalam posisi yang tidak berdaya. Terpaksa mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh penyedia layanan barang dan jasa.

Di sebagian masyarakat Sunda ada istilah marema yang artinya saat dimana tingkat konsumsi masyarakat terhadap barang terutama sembako dan jasa meningkat. Di situlah saat dimana harga meningkat beberapa kali lipat. Dan tentunya dikeluhkan oleh konsumen, tapi mereka tidak punya pilihan karena memang membutuhkan sembako.

Selain di kalangan produsen, mental aji mumpung juga muncul di kalangan konsumen. Ketika sudah mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan godaan diskon yang ditawarkan toko-toko, maka nafsu belanja pun meningkat. Semua barang dibeli, walau kadang tidak mendesak atau kurang dibutuhkan. Lumayan, mumpung ada diskon. Itulah yang kadang menjadi alasannya.

Uang yang jauh-jauh hari ditabung dan dikumpulkan, serta THR banyak digunakan untuk kebutuhan konsumtif demi merayakan lebaran. Mungkin karena berpikir uang bisa dicari kembali pasca lebaran. Kapan lagi menikmati hidup? kapan lagi membahagikan orang tua dan keluarga di kampung? Kapan lagi bisa eksis di kampung halaman? dan sederet pertanyaan lainnya.

Pada saat perayaan lebaran, para penyedia layanan barang dan jasa meraup banyak keuntungan. Termasuk juga oknum aparat dan warga biasa yang mendapatkan keuntungan dari pungutan liar (pungli). Harga-harga tarif masuk ke tempat hiburan tempat wisata dinaikkan berlipat-lipat. Ada oknum pedagang yang menaikkan harga semena-mena, ada tarif parkir liar yang mencekik leher pemilik kendaraan. Akibatnya pembeli atau pengunjung dengan berat hati membayarnya dan kapok untuk datang kembali. 

Para wisatawan ibarat sapirahan. Dijadikan lahan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Ya setahun sekali lah, mohon maklum saja, harga lebaran. Itulah dalih yang sering muncul dari para pedagang atau pelaku pungli.

Hal ini tentunya sangat tidak kondusif dalam membangun iklim pariwisata di sebuah daerah. Ketika wisatawan tidak mau berkunjung ke sebuah tempat wisata, secara langsung para pedagang dan penyedia jasa dirugikan. Pendapatan daerah dari pariwisata pun tentunya menurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun