Materi dan Strategi Pembelajaran Pendidikan Pancasila Ideal untuk Gen Z
Oleh Idris Apandi --- Penulis Buku Kajian Pancasila Kontemporer
Di sebuah ruang kelas yang dindingnya penuh warna, belasan anak duduk melingkar. Tak ada papan tulis penuh tulisan, tak ada guru yang berdiri di depan dengan suara datar. Sang guru justru duduk sejajar dengan murid-muridnya, membuka percakapan ringan:
"Kalau kalian diminta memilih, mana yang lebih penting: kebebasan berbicara atau menghargai orang lain?"
Anak-anak itu berpikir, sebagian menjawab cepat, sebagian lagi diam lalu menimbang. Dari obrolan sederhana itulah pelajaran Pancasila dimulai---bukan dari definisi, bukan dari hafalan, tapi dari kehidupan itu sendiri.
Pendidikan Pancasila: Bukan Sekadar Mata Pelajaran, Tapi Pembentuk Manusia
Dalam Kurikulum Merdeka, Pendidikan Pancasila memikul tugas mulia: membentuk warga negara yang berkarakter, cerdas, demokratis, menghargai HAM, dan peduli terhadap sesama. Capaian pembelajarannya tak lagi berhenti pada mengenal sila-sila, melainkan menghidupi nilai-nilai itu dalam perilaku nyata: jujur, gotong royong, adil, dan bertanggung jawab.
Namun di tengah cita-cita besar itu, guru hari ini berhadapan dengan generasi yang sangat berbeda---Generasi Z, anak-anak yang tumbuh bersama gawai, internet, dan media sosial. Mereka lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, dan hampir seluruh kehidupannya berada di dunia digital.
Gen Z memiliki keinginan besar untuk didengar dan dilibatkan. Mereka tidak suka didikte, tapi senang berdialog. Mereka cepat bosan dengan teori, tapi antusias ketika dihadapkan pada tantangan nyata. Mereka terbiasa belajar lewat video, game, atau eksperimen sosial.
Bagi mereka, pembelajaran bukan lagi sekadar ruang kelas, tapi arena eksplorasi gagasan. Maka, pembelajaran Pancasila yang masih didominasi ceramah panjang dan hafalan nilai-nilai akan terasa asing dan menjemukan.
Masalah Utama: Buku yang Membosankan, Teori yang Terlalu Jauh
Mari kita jujur. Banyak buku teks Pendidikan Pancasila masih tampil kaku. Bab-babnya penuh definisi, penjelasan abstrak, dan kalimat formal yang sulit dicerna. Contohnya, ketika menjelaskan "gotong royong", buku hanya memaparkan maknanya, bukan menampilkan wajah konkret gotong royong di sekitar siswa: dari kegiatan bersih-bersih kelas, membantu teman yang kesulitan, hingga solidaritas di media sosial.
Akibatnya, anak-anak membaca tanpa rasa. Mereka paham kata-katanya, tapi tidak merasakan maknanya. Mereka tahu bahwa Pancasila penting, tapi tidak tahu mengapa ia penting bagi hidup mereka.
Padahal, anak-anak Gen Z membutuhkan pembelajaran yang kontekstual dan hidup. Mereka ingin melihat Pancasila bekerja dalam kehidupan nyata---dalam isu lingkungan, keberagaman digital, atau solidaritas sosial di masa krisis.
Materi Pendidikan Pancasila yang Ideal untuk Gen Z
Bayangkan sebuah pembelajaran dengan tema "Keadilan Sosial di Era Digital."
Guru memulai dengan tayangan video tentang ketimpangan akses internet di daerah pedesaan. Murid kemudian diminta berdiskusi: "Apakah keadilan sosial juga berlaku di dunia digital?" Dari situ mereka menulis opini, membuat kampanye kecil di media sosial tentang literasi digital yang adil, bahkan berdiskusi dengan komunitas luar sekolah.
Itulah wujud materi Pendidikan Pancasila yang hidup: kontekstual, menarik, dan menantang.
Anak-anak tidak hanya belajar dari buku, tetapi dari peristiwa sosial, budaya, ekonomi, hingga ekologi di sekitar mereka. Mereka belajar berpikir kritis, menilai fakta, dan merasakan nilai-nilai Pancasila lewat tindakan kecil.
Materi yang ideal bagi Gen Z harus:
Dekat dengan realitas mereka, seperti isu digital, lingkungan, inklusivitas, dan empati sosial.
Menggunakan bahasa yang ringan dan visual, bukan paragraf panjang dan teoritis.
Menantang untuk dipikirkan, bukan sekadar dihafal.
Memberi ruang refleksi, agar murid bisa menilai diri sendiri: sudahkah aku menjalankan nilai Pancasila?
Strategi Guru: Menjadi Fasilitator Nilai, Bukan Sekadar Penyampai Materi
Guru Pancasila ideal bukanlah pengkhotbah nilai, tetapi penumbuh kesadaran. Ia bukan "penceramah," tapi "pendamping proses berpikir."
Strateginya harus adaptif, kreatif, dan partisipatif.
Gunakan pendekatan dialogis.
Biarkan murid berbicara, berpendapat, dan berdebat sehat. Misalnya, ketika membahas "kebebasan dan tanggung jawab," guru bisa memantik diskusi dari contoh nyata seperti ujaran kebencian di media sosial.Gunakan media digital.
Video pendek, podcast, atau simulasi daring bisa menjadi alat ampuh. Guru bisa mengajak murid membuat vlog reflektif bertema "Pancasila dalam keseharian."Gunakan model pembelajaran berbasis proyek dan masalah (PjBL dan PBL).
Misalnya proyek "Sekolah Ramah Keberagaman" di mana siswa merancang kegiatan yang menumbuhkan toleransi dan empati.Berikan ruang refleksi personal.
Di akhir pembelajaran, biarkan murid menulis jurnal reflektif sederhana: "Nilai Pancasila apa yang paling aku rasakan hari ini?"
Dengan cara itu, Pancasila bukan lagi pelajaran "berat" yang hanya muncul saat jam tertentu, tetapi menjadi way of life yang tumbuh dari pengalaman mereka sendiri.
Penutup: Pancasila Harus Dihidupkan, Bukan Dihafalkan
Mendidik Gen Z dengan Pancasila berarti mengajak mereka berdialog dengan zamannya. Tugas guru bukan menjejalkan nilai, tapi menuntun anak menemukan relevansinya sendiri.
Pendidikan Pancasila ideal bukan tentang seberapa banyak sila bisa dihafal, melainkan seberapa dalam nilai-nilai itu tumbuh dalam tindakan dan keputusan mereka.
Dan di situlah keindahan sejati pendidikan: ketika nilai luhur bangsa bukan sekadar bahan ujian, tapi cahaya yang menuntun generasi muda menjalani hidup yang bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI