Mari kita jujur. Banyak buku teks Pendidikan Pancasila masih tampil kaku. Bab-babnya penuh definisi, penjelasan abstrak, dan kalimat formal yang sulit dicerna. Contohnya, ketika menjelaskan "gotong royong", buku hanya memaparkan maknanya, bukan menampilkan wajah konkret gotong royong di sekitar siswa: dari kegiatan bersih-bersih kelas, membantu teman yang kesulitan, hingga solidaritas di media sosial.
Akibatnya, anak-anak membaca tanpa rasa. Mereka paham kata-katanya, tapi tidak merasakan maknanya. Mereka tahu bahwa Pancasila penting, tapi tidak tahu mengapa ia penting bagi hidup mereka.
Padahal, anak-anak Gen Z membutuhkan pembelajaran yang kontekstual dan hidup. Mereka ingin melihat Pancasila bekerja dalam kehidupan nyata---dalam isu lingkungan, keberagaman digital, atau solidaritas sosial di masa krisis.
Materi Pendidikan Pancasila yang Ideal untuk Gen Z
Bayangkan sebuah pembelajaran dengan tema "Keadilan Sosial di Era Digital."
Guru memulai dengan tayangan video tentang ketimpangan akses internet di daerah pedesaan. Murid kemudian diminta berdiskusi: "Apakah keadilan sosial juga berlaku di dunia digital?" Dari situ mereka menulis opini, membuat kampanye kecil di media sosial tentang literasi digital yang adil, bahkan berdiskusi dengan komunitas luar sekolah.
Itulah wujud materi Pendidikan Pancasila yang hidup: kontekstual, menarik, dan menantang.
Anak-anak tidak hanya belajar dari buku, tetapi dari peristiwa sosial, budaya, ekonomi, hingga ekologi di sekitar mereka. Mereka belajar berpikir kritis, menilai fakta, dan merasakan nilai-nilai Pancasila lewat tindakan kecil.
Materi yang ideal bagi Gen Z harus:
Dekat dengan realitas mereka, seperti isu digital, lingkungan, inklusivitas, dan empati sosial.
Menggunakan bahasa yang ringan dan visual, bukan paragraf panjang dan teoritis.
Menantang untuk dipikirkan, bukan sekadar dihafal.
Memberi ruang refleksi, agar murid bisa menilai diri sendiri: sudahkah aku menjalankan nilai Pancasila?